02

136 19 5
                                    

Elina memarkirkan motor matic miliknya di depen rumah bernuansa putih. Matanya menangkap sebuah mobil BMW hitam dan sesosok laki-laki yang tengah keluar dari bilik pintu rumahnya.

Sosok itu tampak asing bagi Elina. Namun dia tidak kaget, hal seperti itu sering terjadi di rumahnya.

"Anaknya Fani cantik deh, kapan-kapan jalan yuk sama om." lelaki yang kira-kira sudah berkepala lima itu menowel dagu Elina. Tentu saja dengan pandangan murka Elina menghempaskan tangan nakal tersebut.

"Anak perek aja belagu." Lelaki tua itu mengejek lirih. Namun Elina dapat mendengar cemooh tersebut.

Elina mengacuhkan pria tersebut. Memasuki rumahnya dan meninggalkan pria tersebut.

Elina mampir ke rumah untuk mengambil seragam sekolah. Dia juga sudah menulis sticky note dan mengirim pesan agar saat Leo terbagun lelaki itu tidak mencarinya.

Dua gelas kecil serta beberapa botol beer tergeletak tak beraturan di ruang tamu. Terlihat juga, televisi keluaran terbaru dan tentunya bernilai cukup fantastis.

Dengan masa bodo, Elina memasuki kamarnya yang tentu saja sudah memiliki hawa yang berbeda dari pada ruang tamu rumahnya tersebut.

Dengan telaten, Elina menyiapkan peralatan sekolah dan memasukkannya ke dalam tas berwarna biru pastel.

Setelah dirasa siap, Elina keluar dari kamarnya dan menemui sosok wanita yang baru saja bangun tidur. Dengan tato yang terpampang jelas di area tangan kanan wanita itu yang mengenakan hot pants.

"Kamu salah apa sama Leo?" tanya wanita itu setelah meminum minuman yang dia ambil dari kulkas.

Elina tau betul arah Fani, mamanya. "Itu tv baru dapet dari mana?" bukannya menjawab, Elina justru bertanya balik.

Fani menjambak rambut Elina setelah mengelusnya, "Jangan kebiasaan ngalihin omongan orang! Kamu bikin salah apa sama Leo?!"

"Elina nggak bikin salah apa-apa ma," ucap Elina kesakitan.

"Jangan pernah bikin salah. Jangan nyusahin mamah."

'Elina hidup nyusahin mamah ya? Harusnya mamah nggak perlu susah payah besarin Elina.' Elina tak dapat berbicara. Dia tidak mau mendapat luka lagi.

"TV itu dari suami orang kan ma? Keluarga mana lagi yang mau mamah hancurin?!" sarkas Elina.

"Diam! Mamah nggak butuh saran kamu. Jangan pernah urusin urusan mamah!"

'Mamah juga nggak butuh Elina kan? Harusnya Elina nggak ada."

"Iya mah, Elina berangkat dulu." Elina mencium tangan Fani. Seburuk apapun Fani, dia adalah surga untuk Elina walaupun di rasa surganya toxic untuknya.

Meninggalkan rumah seram itu dan mengendarai motor matic miliknya. Elina sadar, apa yang dilakukan ibunya salah. Tapi dia juga sadar, jika dia memberontak dia tidak siap kehilangan dua orang tua.

...

Elina memasuki ruang kelasnya yang sepi karena nanti jam pelajaran pertama ada ulangan fisika. Seperti inilah kehidupan kelas Elina, kelas unggulan yang nilai menjadi prioritas utama.


Dalam pikiran teman-temannya, dia ingin menjadi Elina. Pintar, mandiri, cantik, anggun dan juga pacar dari seseorang yang cukup terkenal di SMA Ansara.

ELINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang