Elina memasuki rumah dengan gaya modern di salah satu perumahan terkenal di daerah Jakarta. Walaupun terkesan modern, rumah ini memiliki taman hijau di depan rumah yang membuat suasananya menjadi asri.
"Maaf tante, Elina telat. Tadi ada urusan yang harus Elina selesaikan." tutur Elina setelah memencet bel dan keluarlah wanita anggun.
"Elina, pipi kamu-"
Elina memegang pipinya yang sedikit membiru, "Nggak papa kok tante, ini tadi habis ngelerai temen berantem." alibinya.
"Ya ampun, tapi kamu nggak papa kan?" Ajeng memegang pipi Elina penuh khawatir. Pasti seperti ini rasanya diperhatikan. Beruntung sekali Zita dan Tito memiliki mamah sebaik Ajeng.
"Nggak papa kok tante."
"Yaudah, kamu masuk aja gih, Zita sama Tito udah nungguin di kamar."
Elina memasuki rumah tersebut. Setahun yang lalu Elina membantu tante ini --bu Ajeng saat beliau terkilir di trotoar dengan belanjaan yang begitu banyak. Entah jodoh atau bagaimana, bu Ajeng sedang membutuhkan les privat untuk kedua anaknya dan Elina sedang mencari pekerjaan sesuai pasionnya. Alhasil, bu Ajeng meminta tolong Elina menjadi teman belajar anaknya yang masih kelas 2 SD dan 3 SMP.
Elina memasuki pintu yang tidak ditutup, ruangan ini cukup luas menjadi tempat belajar. Terdapat sofa bundar berwarna biru di tengah-tengah kamar. Di sudut pojok dekat jendala juga terdapat piano besar yang dimainkan oleh anak lelaki berambut ikal berusia sekitar delapan tahun dan dari sudut yang lain dapat dilihat siswi yang masih dengan seragam lengkapnya rebahan dengan memiringkan ponselnya.
"Maaf ya, kakak telat." ucap Elina tak enak.
"Lelet," sahut Zita dengan berjalan malas ke sofa belajar. Memang seperti itu sifat Zita sejak pertama bertemu, tidak salah jika tante Ajeng kebingungan mencari tutor. Zita merupakan tipe pemilih. Dengan dalih bahwa Elina merupakan peringkat paralel Ansara, maka mau tak mau Zita harus menerima Elina karena SMA Ansara adalah SMA impiannya sejak dulu.
"Yah, Tito masih ingin main piano kakk," rengek Tito.
"Iya, maaf ya. Tito yuk belajar sebentar! Nanti Tito bisa main piano lagi setelah belajar," ajak Elina mengelus rambut keriting Tito.
"Kalau nggak mau belajar yaudah, tinggalin aja." Ziya meletakkan handphonenya dan mulai membuka buku persiapan ujian nasional.
"Tito mau belajar, enak aja." Tito berlari ke meja belajar disusul Elina di belakangnya.
Elina membuka tasnya memberikan selembar folio kepada Zita, "Kakak ingat beberapa soal tes masuk Ansara. Siapa tau nanti bakalan sama."
Zita menerima lembaran itu, mengamati setiap soal dan pembahasan di sana. Zita juga menodongkan buku tebal berisi latihan soal kepada Elina. "Yang gue lingkarin, berarti gue bingung."
"Tito juga bingung sama ini, nggak bisa matematika kayak kak Ros." Elina tertawa mendengar ucapan polos Tito, dia memang selalu memyebut Zita dengan sebutan kak Ros karena suka marah-marah seperti karakter kartun kesukaannya.
"Ish, bocil!" Zita mencebikkan bibirnya.
"Udah, jangan marah mulu nggak baik. Nanti kakak ajarin bab itu, kamu pelajarin aja dulu rangkuman dari kakak," ucap Elina kepada Zita, dia akan terlebih dahulu mengajari Tito yang kurang bisa matimatika basic padahal itu sangat penting.
Zita mengangguk dan memfokuskan pada rangkuman, bagaimanapun juga dia harus masuk ke SMA Ansara tahun ini.
...
Rion melangkahkan kaki memasuki rumah yang tidak layak mendapat julukan tersebut.
Di ruang tamu, sudah ada pria dengan setelan jas duduk membaca berkas dibantu dengan kaca mata yang bertengger di batang hidungnya.
Pria itu bangkot dengan menaruh kedua tangannya didalam saku celana. "Tumben pulang, uang jajan habis?"
Rion tak memperdulikan. Dia tetap berjalan menuju ke arah kamarnya.
"Papa ada di sini. Mana sopan santunmu?! Dasar anak kurang ajar!"
"Ingat perjanjian kita atau Sena—"
Belum sempat Dirga menyelesaikan ucapannya, Rion berbalik dengan sorot tak suka.
"Papa nggak akan ngusik asal kamu jaga sikap, perbaiki nilai kamu, masuk univ yang papa tentuin dan turuti semua kata papa."
Sudah dapat ditebak apa yang akan dibicarakan papahnya. Tanpa memperdulikamnya, Rion berjalan menaiki tangga menuju ke kamarnya. Membuka ponselnya karena beberapa notif.
'Dirga Cokrominoto, si Pahlawan Pendidikan Indonesia Lagi-Lagi membuat Tercengang."
"Semua Anak Indonesia Wajib Mendapat Pendidikan yang Layak, Tegas Dirga Cokrominoto."
"Dirga Cokrominoto, Rela Sumbang 2 Milyar untuk Pendidikan Indonesia."
"Pebisnis Dirga Cokrominoto Tidak Tanggung-Tanggung dalam Memperbaiki Pendidikan Indonesia"
Artikel semua itu bohong. Tidak ada Dirga Cokrominoto yang seperti itu. Semua hanya topeng yang sengaja dibuat untuk meningkatkan harga saham perusahaan miliknya.
Rion membanting hpnya, mengacak frustasi rambutnya. "BANGSAT LO DIRGA!"
...
Langit malam sudah petang, Elina memasuki pekarangan rumah sederhana miliknya. Sorot matanya menatap tak asing dengan mobil yang terparkir disana.
Dengan cepat, Elina berjalan memasuki rumahnya.
Benar saja, lelaki yang tengah duduk di meja makan rumahnya sambil berbincang dengan mamahnya yaitu Leo. Mereka berdua tampak asyik dan akrab.
"Hp lo lowbet lagi?" tanya Leo. Bukan, itu hanya nada halus namun Elina paham dengan situasi ini.
Dengan bibir tersenyum dia mengatakan, "Iya, Bentar lagi mau ujian masuk Ansara. Zita minta tambahan waktu."
"Oh." jawab Leo sambil mengangguk.
Elina meletakkan tasnya di kursi meja makan samping Leo. "Kamu kenapa dateng kesini?"
Leo menyipitkan pandangannya, "Kenapa? Lo keberatan gue disini??
Elina menggeleng.
"Tadi pagi mamah bilang apa? Mamah bilang kalau kamu tuh kasih kabar ke Leo kalau kemana-mana. Kalau gini kan, Leo yang bingung nyariin kamu." Tiba-tiba saja Fani masuk ke pembicaraan mereka.
"Tuh didengerin," goda Leo.
Dengan wajah cemberut, Elina mengambilkan lauk pauk untuk dirinya dan Leo. "Iya-iya bawel."
Mamahnya tidak sadar pipinya membiru? Kenapa tidak diberi rasa perhatian? Padahal Elina sangat menginginkan hal tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELINA
Teen Fiction-☀(PERINGATAN! PLAGIAT HARAP SEGERA TOBAT!)☀- Namanya Elina. Peringkat pertama paralel salah satu sekolah elite di Jakarta, SMA Ansara. Karakternya yang dewasa, cantik dan cerdas harus dipertemukan dengan sosok yang arogan, pemarah dan egois. Menja...