22. Emotion

3.1K 406 11
                                    

Sky bersikap agak dingin setelah kejadian aku kaget. Bahkan dia lebih memilih berjalan di samping Oceana saat kami berfoto di depan rumah Hobbit. Ketika Gana dan Oceana pergi untuk membeli wortel untuk makan kambing atau kelinci, kutarik sweater biru muda yang dikenakan Sky.

"Sky, kamu marah?" tanyaku penasaran. Mata cokelat itu menatapku tajam.

"Maaf, tadi itu aku nggak sengaja. Kaget." Sky menghela napas. Aku memejamkan mata dengan cepat ketika jemarinya menyentuh jemariku dan merangkumnya dalam genggaman. Memejamkan mata adalah cara ketiga yang disarankan Oceana untuk mengurangi efek mau latah.

"Aku tahu kamu nggak sengaja. Tapi tetap saja aku jealous." Dia tertawa pahit.

"Don't do that again, my Cloudy. It'll break my heart," katanya lagi.

"Cloud, aku –"

Kalimat itu terputus karena tepat saat Gana dan Oceana datang. Sky langsung melepaskan genggaman tangannya dan tidak meneruskan kalimatnya. Sekarang giliran Gana yang menatapku tajam. Duh, kenapa lagi sih dia?

Kami melanjutkan perjalanan. Perut kenyang, jalan tol yang lancar, pendingin udara dan lantunan musik membawaku ke alam mimpi.

*

Dengung suara orang-orang terdengar bising di telingaku. Menarik napas lalu memejamkan mata sejenak, bisa menenangkan detak jantung dalam dadaku. Kemudian denting piano terdengar dan aku mulai melantunkan bait pertama lagu Celine Dion, My Heart Will Go On.

Setelah menyanyi, Ayah dan Ibu memelukku dengan erat. Ini hanya event 17-an yang rutin diadakan di lingkungan rumah. Bertahun-tahun aku menyanyi di lingkungan rumah. Tahun ini adalah tahun istimewa.

"Jangan lupa, janjinya loh, Yah," kataku pada Ayah.

"Iyaaa ... nanti sore Ayah dan Ibu akan ambil tiketnya."

Sebenarnya tahun ini aku malas untuk mengikuti acara 17-an. Ibu membujukku untuk ikut supaya bisa memeriahkan acara dengan iming-iming tiket konser boyband kesayanganku. Beberapa temanku sudah membelinya jadi tentu saja iming-iming itu kuterima dengan baik.

Sore itu, Ayah dan Ibu pergi. Aku mengantar mereka dengan lambaian tangan ceria. Hujan deras turun tidak lama setelah kepergian mereka. Sampai malam, Ayah dan Ibu belum juga pulang. Kak Arthree menyuruhku untuk tidur terlebih dulu, yang langsung menurut berjalan ke kamar dengan langkah gontai.

Pagi harinya kudapati Kak Arthree menyibak gorden kamarku dengan kasar. Membangunkanku yang melompat karena kaget. Wajah cantik kakakku sembap. Matanya merah dan dia membawa kabar. Ayah dan Ibu mengalami kecelakaan. Mobil mereka tertabrak truk yang mengalami rem blong. Mereka berdua meninggal di tempat.

"Ini semua gara-gara kamu. Kalau kamu tidak meminta tiket konser itu, mereka pasti masih hidup," desis kakakku lalu melempar selembar tiket yang berlumuran darah di depan mukaku yang masih ternganga kaget.

*

"Cloud!" Seseorang mengguncang bahuku.

Saat membuka mata, untuk sekejap aku tidak tahu ada di mana. Tiga pasang mata menatapku dengan heran. Indikator lampu yang berkedip-kedip menandakan bahwa mobil menepi. Aku menatap mereka dengan heran.

"Kamu nggak apa-apa? Tadi kamu terisak-isak," kata Oceana. Matanya masih terbelalak karena kaget.

"What?" Kuusap pipi dan mendapatkan jemariku basah.

"Sepertinya aku bermimpi buruk. Maaf merepotkan."

Sky masih menatapku, "Kamu yakin nggak apa-apa? Coba minum ini dulu." Dia mengangsurkan segelas teh hangat yang dituang dari termos.

Saat menyesap teh dan merasakan kehangatannya, kurasakan Gana masih memandangku dalam diam. Setelah aku selesai minum, kami melanjutkan perjalanan.

"Nih, Cloud," kata Gana sambil menyodorkan cokelat yang kuterima dengan senang hati.

"Gue mau, dong! Masa dia doang yang dikasih?" Gana tertawa lalu memberi cokelat juga pada Oceana.

"Lo ngimpi apa sih, Cloud?" tanya sahabatku sambil berbisik.

"Nyokap bokap," jawabku singkat. Gadis di sebelahku bergeser dan memeluk lenganku dengan sayang.

"Don't be sad again. Ada gue."

Oceana memang tahu kalau kedua orangtuaku sudah meninggal dunia. Kata-katanya sungguh manis. Kubalas pelukannya dengan sayang.

"Kamu nggak apa-apa, Cloud?" Sky menatapku dari spion tengah.

"Nggak apa-apa. Cuma mimpi tentang orangtuaku."

"Orangtua kamu?" Pertanyaan Sky membuat Gana bergeser sedikit dari duduknya agar dapat melihatku.

"Mereka sudah meninggal saat usiaku 12 tahun. Entah kenapa siang-siang kok aku bisa mimpi sedih saat mereka pergi. Maaf ya, kalian jadi kaget." Aku tertawa pelan.

"Sorry, Cloud." Mata itu menatapku dengan perasaan bersalah.

"No need. Sudah lama berlalu." Kurasa mimpi itu muncul pasti karena email dan miss called Kakak yang terus berdatangan belakangan ini.

Beberapa saat, kami berempat terdiam. Tiba-tiba lagu Emotion-nya Destiny's Child terdengar. Tanpa sadar aku ikut menggumamkan lagu, kemudian Oceana ikut bernyanyi. Kami berhadapan dan tertawa bersama. Ketika sedih, menghadapinya bersama sahabat memang lebih mudah.

It's just emotion taken me over
Caught up in sorrow, lost in my soul
But if you don't comeback
Come home to me, darling
Nobody left in this world
To hold me tight
Nobody left in this world to kiss goodnight

"I always by your side. Tapi nggak perlu yaaa kiss goodnight tiap malam. Gue kan masih normal." Ucapan Oceana kujawab dengan cubitan sambil tertawa.

*
Baru satu kartu masa lalu Cloud yang terbuka. Sebenarnya dia itu kenapa sih?

Jangan lupa voment-nya, demi jutaan awan di langit. ☁️☁️☁️☁️☁️🌥🌥🌥🌥⛅⛅⛅⛅

Love love
Ayas

My Cloudiest Sky (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang