Aisyah berjalan menyusuri lobi madrasahnya yang tak pernah berubah, pandangan matanya masih tertuju pada kerumunan santri yang memenuhi lobi madrasah. Aisyah sama sekali tidak tertarik menerobos kerumunan itu untuk melihat pengumuman kelulusannya, ia lebih memilih berjalan lurus melewati kerumunan itu sambil berpikir apa yang bisa diperbuatnya dengan kamera Nikon yang masih menggantung di lehernya.
Madrasah itu tidak seramai biasanya pada hari pengumuman kelulusan, setidaknya hanya santri angkatan terakhir yang memenuhi lobi madrasah. Karenanya, Aisyah lebih memilih untuk mengelilingi madrasahnya sambil memotret beberapa objek yang mungkin bisa mengingatkannya pada banyak cerita yang terukir tiga tahun belakangan. Aisyah terus berjalan menyusuri lobi madrasah hingga gedung lantai tiga, lalu memilih berhenti di depan balkon kelasnya.
Aisyah selalu suka berdiri di tempat itu, mengamati halaman madrasahnya dari atas sambil memikirkan banyak hal. Hening. Aisyah menatap tempat yang beberapa tahun belakangan telah membuatnya jatuh cinta. Bagi Aisyah madrasahnya itu tidak pernah berubah, tetap sama seperti saat pertama kali ia menginjakkan kaki di tempat itu. Kejadian apapun yang telah terjadi sama sekali tidak mengubah madrasah itu sedikit pun. Dan lagi, untuk yang kesekian kalinya Aisyah jatuh cinta pada madrasah itu.
Aisyah tahu bahwa ia akan merindukan tempat itu lagi. Perlahan, ia mengalihkan pandangannya ke arah kamera Nikon yang menggantung di lehernya. Sedih sekali rasanya, seharusnya pada momen-momen penting seperti ini sahabatnya itu ada bersamanya. Tapi lihatlah, hari ini Aisyah justru merayakan kelulusan tanpa sahabatnya. Pandangan Aisyah menerawang jauh bersama pertanyaan-pertanyaan dalam hatinya yang belum terjawab. Apa kabar sahabatnya itu? Aisyah tidak tahu entah sudah berapa lama mereka tidak bersapa, rasanya sudah lama sekali.
Aisyah tidak ingin menangis di hari kelulusannya, tapi perlahan butiran bening mulai mengalir membasahi pipinya tanpa bisa ditahan. Aisyah terus bertanya-tanya dalam hati, bukankah ini lucu sekali, ia datang ke tempat ini dengan tangisan dan akan meninggalkannya dengan tangisan lagi?
Aisyah mengalihkan pandangannya pada lapangan basket madrasahnya, rasanya kini ia bisa melihat bayangan dirinya yg dulu di sana. Masih sebagai seorang gadis polos yang selalu banyak tanya dan tidak mau diatur. Lalu, ia bertemu dengan Yusuf. Orang yang benar-benar membuat hidupnya berputar 360 derajat, sebelum akhirnya meninggalkan Aisyah dengan 1001 pertanyaan yang mungkin tidak akan pernah terjawab. Lalu, pertengakaran besar dengan sahabatnya. Aisyah tidak pernah tahu apakah semua akan menjadi lebih baik ketika mereka pergi, atau justru lebih buruk. Entahlah, Aisyah tidak pernah tahu jawabannnya.
"Cukup." Batin Aisyah.
Perlahan, Aisyah menyeka air matanya lalu pandangan matanya beralih pada jam tangannya. Pukul 17:30 WIB. Mungkin ia harus pergi sekarang, namun kakinya malas untuk beranjak.
Aisyah mencoba meyakinkan dirinya dan melangkah meninggalkan balkon kelasnya, meskipun ia belum yakin akan meninggalkan madrasah itu tanpa kepastian. Ia kembali menyusuri lorong-lorong madrasah dengan langkah gontai sambil menatap lantai ubin yang dilewatinya. Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika mendapati seseorang telah berdiri di hadapannya. Aisyah menatap sepasang kaki di hadapannya dan menatap sepatu kulit itu. Ia tahu itu siapa... Tapi, apa yang bisa dilakukannya sekarang? Aisyah sungguh belum siap untuk bertemu dengannya.
"Cha..," Suara itu menyapanya, persis seperti pertama kali mereka bertemu. Tidak ada nada kebencian dalam suara itu.
"Ada yang mau aku sampaikan." Ucapnya pada Aisyah.
Rasanya sudah lama sekali, dan untuk yang kesekian kalinya Aisyah tidak pernah tahu apakah pembicaraan ini akan menyelesaikan masalahnya atau hanya akan menambah masalah baru bagi hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gantung
SpiritualitéGantung. Cerita ini memang ada. Bukan tentang horor atau misteri. Ini tentang menunggu, juga tentang 1001 ketidakpastian lainnya yang sulit dicerna oleh logika. Ini adalah sebuah perjalanan panjang tentang hati yang ragu-ragu untuk tetap tinggal, n...