5 | Cinq

204 2 0
                                    

Rasa dingin menjalar sampai ke tulang Zora saat mendengar berita tersebut, ia menahan diri agar tubuhnya tidak gemetar. Ia terperanjat, tidak ada gunanya berpura-pura sebaliknya. Sepupunya, Fandi pasti menjebak ayahnya untuk mendapatkan kode akses masuk ke rumah itu. Dia sengaja mendatangi ayahnya terus-menerus disertai ancaman tentang utang yang tidak bisa dibayar ayahnya, sebelum akhirnya mengajukan kesepakatan yang kelihatannya sepele. Ayahnya memang naif karena menelan mentah-mentah alasan laki-laki culas itu yang hanya ingin memotret.

Namun, Ayah memang naif, batin Zora sedih. Pekerja kasar tak berpendidikan yang hampir tidak pernah bepergian jauh dari tempat kelahirannya kecuali liburan ke Bali bersama ibunya beberapa waktu lalu.

"Apa Ayah yakin, Fandi yang mencuri lukisan itu?"

"Ayah tidak tahu sama sekali apa yang terjadi malam itu. Ayah hanya memberikan kode akses dan kartu kunci, yang sudah Fandi kembalikan di kotak pos sebelum Ayah bangun tidur besok paginya," aku Hamdan dengan berat hati. "Seminggu setelah kejadian itu, Fandi memaksa Ayah tutup mulut. Belakangan, ketika Ayah berbicara dengannya tentang perampokan itu, Fandi berkeras bahwa dia tidak ada hubungannya dengan hal itu dan bahwa dia mempunyai alibi malam itu. Ayah tidak yakin apakah Fandi kelihatan seperti pencuri lukisan internasional. Ayah bertanya-tanya apakah Fandi memberikan kode akses dan kartu kuncinya untuk digunakan orang lain. Ayah benar-benar bingung, Zora."

Dengan mual Zora berpikir tentang Raka Bagaskara, miliuner industrialis asal Jakarta, pemilik lukisan yang dicuri, pencurian yang pada akhirnya akan ditimpakan kepada ayahnya. Bukan tipe lelaki yang akan menganggap remeh kejahatan semacam itu, dan bukan tipe lelaki pemaaf juga. Berapa banyak orang yang bahkan bersedia mendengarkan cerita versi ayahnya tentang kejadian itu? Atau bahwa dia tidak secara sukarela berkonspirasi dengan keponakan istrinya? Fakta bahwa ayahnya telah bekerja hampir dua puluh tahun di keluarga Bagaskara tidak akan berpengaruh apa-apa, sama seperti fakta dia tidak memiliki catatan kejahatan dan reputasi buruk.

Intinya adalah kejahatan yang sangat besar telah terjadi.

Ketika Hamdan beranjak pergi dan meminta Zora untuk tidak menceritakan masalah ini kepada ibunya, Zora mengerutkan dahi tidak setuju. "Ayah perlu memberitahu Ibu soal ini secepatnya," protesnya. "Ibu akan jauh lebih syok saat melihat polisi tiba-tiba datang ke rumah, sementara dia nggak tahu apa-apa."

"Stres bisa membuat ibumu sakit lagi," sergah Hamdan cemas.

"Ayah nggak bisa menyimpulkan seperti itu. Apapun bisa terjadi dan nggak ada yang bisa menjamin itu." Zora mengingatkan ayahnya tentang kata-kata bijak dokter onkologi setelah program perawatan ibunya tahun lalu. "Kita hanya perlu berdoa dan berharap yang terbaik."

"Ayah sudah mengecewakan ibumu...." Hamdan menggeleng-gelen pelan, matanya yang gelap berkaca-kaca. "Ibumu tidak layak mengalami ini semua."

Zora diam saja karena dia tidak punya kata-kata hiburan untuk ayahnya. Masa depan mereka berangsur suram.

Apakah aku perlu mendatangi Raka dan berbicara mewakili Ayah? Pikir Zora. Sayangnya, ketika ia memikirkan latar belakang hubungannya sendiri yang janggal dengan Raka, sepertinya itu bukan ide yang cemerlang. Ia pernah makan malam bersama Raka. Ketika Raka mengajaknya, dia tidak punya pilihan lain selain menerima demi kesopanan, karena ayahnya bekerja untuk lelaki itu, dan juga karena lelaki itu merupakan klien paling penting di tempat praktiknya. Namun wajahnya masih panas tiap kali ia memikirkan kembali malam nahas itu ketika segalanya yang bisa berjalan salah benar-benar berjalan salah. Sekarang, Zora benci memeriksa kuda jantan Raka selagi lelaki itu berada di sana. Lelaki itu selalu membuatnya salah tingkah dan kepercayaan diri profesionalnya selalu rontok di sekitar lelaki itu.

AddictedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang