3 | Trois

245 7 0
                                    

"Tunggu sebentar ya, Yah!" pinta Zora membungkuk di atas anjing yang meniarap di depannya untuk mengobati luka-luka anjing itu dengan salep antiseptik. "Tumben banget Ayah dateng di hari Minggu pagi gini...."

"Ada yang Ayah ingin bicarakan sama kamu, Zora," jawab Hamdan. Ada yang aneh dalam suaranya yang membuat Zora menengadah, matanya yang kecokelatan tampak bertanya.

Zora meringis melihat ayahnya kelihatan tegang, pucat, dan lebih tua daripada usianya. "Ada apa, Yah?" tanyanya cemas. Ia tidak pernah melihat ayahnya secemas itu sejak ibunya didiagnosis terkena kanker tahun lalu.

"Selesaikan dulu pekerjaanmu, Nak."

Dengan susah payah Zora mengendalikan debar ketakutan yang langsung meriak dalam dirinya. Ya Tuhan, apakah kanker Ibu muncul lagi? Itulah pikiran panik pertamanya dan tangannya agak gemetar saat menyelesaikan tugasnya. Tapi, sejauh yang ia ketahui, ibunya tidak memiliki jadwal check-up dan ia memarahi diri karena terlalu cepat memperkirakan kabar buruk.

"Lebih baik Ayah tunggu Zora di dalam rumah. Zora nggak akan lama kok," ujar Zora tegas kepada ayahnya untuk menekan kecemasannya.

Zora menaruh anjing itu ke kandang tempat makanan sudah menunggu dan sesaat memperhatikan hewan itu mulai melahap apa yang jelas merupakan makanan layak yang tidak didapatkan hewan itu selama berminggu-minggu. Setelah mampir ke kamar mandi untuk mencuci tangannya dan bersih-bersih, Zora bergegas masuk ke dalam rumah, lalu ke dapur tempat ayahnya sudah duduk di meja kayu jati warisan neneknya.

"Ada apa, Yah?" tanya Zora tegang, terlalu cemas membayangkan keadaan ibunya hingga tidak mampu menaungkan ketakutannya ke dalam kata-kata.

Ayahnya menengadah, mata hitamnya dipenuhi rasa bersalah dan kecemasan. "Ayah telah melakukan hal bodoh, amat, sangat bodoh. Ayah meminta maaf karena telah melibatkanmu Zora, tapi Ayah belum sanggup memberitahu ibumu," aku Hamdan kaku. "Ibumu sudah mengalami banyak hal belakangan ini tapi Ayah takut masalah ini malah bisa menghancurkannya...."

"Ceritain semua ke Zora, Yah. Beritahu Zora apa yang sebenernya terjadi," desak Zora lembut di seberang ayahnya, yakin ayahnya pasti melebih-lebihkan masalah karena ia tidak bisa membayangkan ayahnya melakukan hal yang benar-benar salah. Hamdan adalah lelaki jujur dengan kebiasaan moderat, sangat disukai dan dihormati di lingkungan ini. "Apa persisnya yang Ayah lakuin sampai Ayah harus menyebutnya hal bodoh?"

Hamdan menggeleng-gelengkan kepalanya yang berambut kelabu dengan berat. "Ayah meminjam banyak uang dari orang yang salah...."

Zora membelalak lebar, karena penjelasan ayahnya mengejutkannya. "Jadi, masalahnya menyangkut uang? Ayah berutang?"

Pria tua itu mendesah letih. "Itu baru permulaannya. Apa kamu ingat, ketika Ayah mengajak ibumu berlibur setelah dirawat di rumah sakit?"

Zora mengangguk perlahan. Ayahnya mengajak ibunya berlibur ke resort mewah di Bali, liburan paling berkesan bagi pasangan yang tidak pernah mendapat cukup banyak uang untuk berlibur jauh dari rumah sebelumnya. "Zora sempat heran Ayah bisa membiayai liburan itu, tapi Ayah bilang itu dari uang tabungan."

Merasa malu karena diingatkan hal itu, Hamdan menggeleng-geleng. "Ayah berbohong. Tidak pernah ada tabungan. Ayah tidak pernah mampu menyisihkan uang seperti yang Ayah harapkan sewaktu masih muda dulu. Keuangan keluarga kita selalu pas-pasan."

"Ayah berutang sama siapa?"

"Rudi. Om Rudi, kakak ibumu," aku Hamdan enggan, mengamati wajah putrinya yang menegang karena ngeri.

"Tapi, Om Rudi kan lintah darat! Ayah tahu itu! Keluarga Ibu itu sekumpulan orang bersifat buruk dan Zora bahkan pernah mendengar Ayah memperingatkan orang lain agar tidak berurusan sama mereka!" Zora berapi-api mengingatkan ayahnya. "Mengetahui apa yang Ayah tahu tentang Om Rudi, gimana caranya Ayah malah pinjam uang dari dia?!"

AddictedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang