(1) : Secarik Rindu Sang Pemuda

97 11 3
                                    

Ketika sang surya mulai mengintip malu menggantikan posisi sang purnama, ada segelintir awan yang mulai menyapanya. Sejuk merata tuk terhirup, ada kehidupan lain di sepetak rumah yang masih enggan untuk terbangun.

"Rama! Cepet tangi lan budhal sekolah!" ("Rama! Cepat bangun dan pergi sekolah!").

Mendapat alarm teguran tiap paginya, ia seolah tidak memperdulikannya. Bergelung nyaman diatas kasur disertai alunan musik classic rock yang menemani jenjang sang mimpi.

"RAMADHAN AKRASUDA! Ibu nyekolahkan koe yo kangge masa depan! Iki bocah wenak-wenake turu! Tangi cah bagus, adus terus sarapan!"
("RAMADHAN AKRASUDA! Ibu menyekolahkan kamu ya untuk masa depan! Ini anak enak-enaknya tidur! Bangun anak ganteng, mandi terus sarapan!").

Jogja, hanya segelintir manusia yang berada disana bisa bermalas-malasan seperti ini.

Ramadhan Akrasuda, salah satu pemuda Cakrayakta yang paling dominan dan mencolok diakar kehidupan sang panggung semesta. Berkat kegeniusannya, ia selalu mendapat penyongsong dibidang ekonomi. Namun, ia tidak memperdulikannya dan memberontak dengan cara membolos ataupun datang terlambat. Aneh? Itulah dia.

"Nggih, bu! Niki Rama badhe adus!"
("Iya bu! Ini Rama mau mandi!").

Enggan untuk berkata, Rama pun segera melesat menuju kamar mandi dan petualangan luka akan segera hadir.

☆☆☆

Cakrayakta, sekolah yang penuh relungan jiwa terpedih, keretakkan, dan tersakiti. Hanya bagi pemuda dan pemudi yang tidak cukup kuat menghiasi baja mental dengan sejuta impian. Lahirnya sekelompok pemuda yang mengubah sebuah mimpi dan janji menjadi nyata.

"Woy, Ram! Tumben lo gak telat?," tanya sang pemuda.

Senyum kecil menghiasi wajah tampan yang selalu dipuja-puja para pemudi Cakrayakta. "Gue diamuk nyokap. Gila sih hari ini alarmnya gede banget."

"Lo diamuk make apaan emang?"

"Biasa, suara khas seorang wanita disaat ia merasa jiwanya mulai membakar emosi batin hehehe," kekehnya dengan tawa renyah. "Oh iya, Pram. Lo liat si Panji gak? Gue mau balikin pulpen. Dikasih mandat, kalo ilang gue harus jadi goblok katanya."

Devanka Prama Radeva, pemuda dengan mata sipit sesipit bulan sabit itupun hanya mengerutkan dahinya sejenak. Para pemuda memang seringkali memanggilnya dengan sapaan Pram. Lalu, setelah adanya Devan? Mereka memutuskan untuk memanggil mereka berdua dengan nama yang lumayan hampir sama, jika mereka berdua bersama saja.

"Kok gitu? Pulpen apa emang?," tanyanya.

"Pulpen biasa, pilot."

Seperti ada getaran diujung bibir sang pemuda bermata sipit, ia tertawa terbahak-bahak melihat tingkah lugu temannya itu.

"Oke, Ram. Lo dikibulin si Panji. Yen dadi manungsa ojo kakehan dosa, nah kan kena karma," tawanya melihat wajah Rama yang mulai muram.

Devanpun merangkul Rama dengan gaya persaudaraan yang membara. Senyum yang membuat mata sipitnya makin menghilang membuat siapapun yang melihatnya merasa gemas.

"Oke, kita ke kelas Panji. Kasih hajar, gue dukung lo dibelakang!"

☆☆☆

"Rhea.."

"Rhe, nengok dong."

Panji tidak habis pikir dengan jalan otak sahabat kecilnya itu. Mengapa sifatnya sangat dan sangat berubah?

Sejak kepindahannya dan mengetahui jika bertemu kembali dengan si pemuda? Sang gadis memilih diam tanpa ingin tahu apa-apa terkait pemuda yang sejak tadi menyerukan namanya.

"Ojo klalen, koe yo butuh kelegaan batiniah lan raga. Matur mawon nek mbutuhi nopo-nopo. Tabik mujur kangge koe," ucapnya dengan senyum tipis. Kemudian, ia beranjak keluar dari kelas untuk merutuk secarik rindu yang kini ia belenggu dengan perasaan lesu.
("Jangan lupa, kamu ya butuh kelegaan batiniah dan raga. Bilang aja kalo butuh apa-apa. Selamat bahagia buat kamu").

Rhea melihat kepergian Panji dengan tatapan gusar. Ia hanya ingin memulai lembaran baru tanpa mengisi orang-orang dari masa lalunya.

Panji memasukkan kedua tangannya di saku celana sambil menatap hamparan sarwa yang tersengut-sengut di pagi ini. Ia memikirkan sebuah cara untuk kembali memasangkan benang persahabatan untuk Rhea. Seolah tidak direstui oleh sang langit, secara mendadak ia hampir mendapat serangah jantung akibat temannya.

"Woy! Ngapin eta? Diem-diem bae, ngopi ngapa ngopi?," tawa sang pemuda disertai pukulan tabok dipunggung Panji.

"Bacot anjir! Gue kaget bangsat!," amuknya dengan mengelus dada berkali-kali.

"Gendra gitu loh!," bangganya setelah hampir membuat Panji mati jantungan.

Nagendra Setya Prawara, ahli vokalnya di Cakrayakta. Bukan musisi, hanya terlahir dengan bakat suara manis dan kelakuan konyol yang kadang membuat pikiran menjadi panas seketika.

"Bos, dicariin Rama tadi. Nih, nitip pulpen katanya," Panji menaikkan alisnya dengan tanda tidak mengerti.

Gendra mendengus, salah satu tangan kokoh Panji ia tarik dan menempatkan pulpen ditempat yang seharusnya.

"Pulpen pilot punya lo, dari Rama. Katanya suruh balikin."

Baiklah, ternyata Cakrayakta mampu bermain-main dengan mereka. Melihat ekspresi konyol Panji membuat Gendra membatinkan bodo amat, demi menjaga nama baiknya ia tidak mengucapkan secara lisan.

"Yaudah, gue balik ke kelas dulu. Istirahat langsung ke basecamp, Yoga hari ini ada waktu buat gabung," ucap Gendra sambil berlalu dari hadapan Panji.

"Yogaswara? Bisa ngosongin waktu juga tuh anak," batin Panji dengan seringaian.

"Oke, karna hari ini semua anggota kumpul lengkap, gue bakal nyusun rencana awal yang sempet tertunda. Oke, let's go!," kobaran semangat dari Panji segera diresap oleh beberapa pemuda dan pemudi yang berlalu lalang. Melihat semangat yang membara dari Panji membuat mereka ikut bersemangat di pagi yang sedang merintih hari ini.

KICAUAN CAKRAYAKTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang