Pagi itu seperti biasa halte dipenuhi banyak orang yang menunggu bus datang. Berdesak-desakan, dengan baju seragam atau pakaian kantoran. Beberapa berhasil mengambil tempat duduk, sebagian lagi memilih untuk berdiri.
Seorang pria manis, dengan tag nama Zhong Chenle di seragamnya, mendesah kesal setelah 20 menit menunggu.
Ini adalah hari pertamanya masuk sekolah. Tahun ini adalah tahun pertama yang akan ia lewatkan sebagai pelajar menengah ke atas.
Setengah hatinya merasa bahwa ini adalah hari yang cukup sial baginya.
Pertama, karena ia sangat tidak ingin berangkat sekolah setelah libur panjang kelulusannya. Kedua, karena ia tidak menyukai sekolahan yang akan ia tuju.
Mengapa di zaman yang sangat modern ini orang tuanya masih bersikukuh untuk menentukan sekolahan mana yang cocok untuknya, dan mana yang tidak sesuai untuk masa depannya.
Tentu saja ia tidak menyukai kenyataan bahwa sekolahnya adalah sekolah favorit dengan hampir seluruh siswanya ber IQ tinggi. Ia lelah bersaing secara akademis.
Belum lagi kenyataan bahwa sekolahnya yang baru cukup jauh dari tempat tinggalnya. Bus yang menghubungkan rumah dan sekolahnya hanya ada 4 setiap hari. Pukul 6 pagi, 12 siang, 4 sore dan 9 malam.
Jika tertinggal sebentar saja ia harus berganti haluan dengan bus lain yang rutenya jauh lebih panjang atau ia harus berganti bus lainnya lagi selama 3 kali. Sangat tidak efisien.
Setelah menunggu selama puluhan menit yang terasa seperti ribuan tahun, akhirnya bus yang ditunggu datang juga.
Pria manis berkulit putih susu itu mendesah lega. Siap bergerumbul dengan antrian manusia lainnya.
Chenle meloncat bergerak mengambil celah agar segera masuk ke dalam bus.
Tiba di dalam, moodnya bertambah buruk saat mendapati kendaraan yang ia tumpangi sangat penuh, tidak ada kursi yang tersisa. Bahkan sudah banyak orang yang berdiri di sepanjang koridor bus.
Chenle mengambil posisi berdiri sambil cemberut, perjalanan perdananya menuju sekolahan akan terasa begitu melelahkan.
Bus berjalan. Ia bahkan tidak bisa menikmati perjalanannya.
Tiba di halte berikutnya, ia dikejutkan dengan tambahan beberapa penumpang lagi yang bergabung di sana. Kebanyakan dari mereka mengenakan seragam sama, berwarna biru tua hampir menyerupai hitam.
Ia tidak begitu tahu dari sekolah mana mereka berasal. Jelas sangat berbeda dengan seragamnya yang berwarna hijau army.
Chenle mendesah, warna seragamnya adalah salah satu alasan utamanya untuk memakai jaket. Ia tidak nyaman dengan warna ini, merusak indera penglihatan. Tangannya refleks menarik resleting jaket hingga ke dekat lehernya.
Chenle bergeser ke belakang, memberikan tempat lebih luas bagi penumpang yang baru bergabung.
"Maaf, permisi."
Chenle menoleh ke arah sumber suara.
Matanya menangkap seorang laki-laki tampan -mungkin seumuran dengannya- tengah mengambil posisi di sekitar anak laki-laki lainnya yang berseragam sama dengannya.
Sepertinya mereka teman satu sekolah.
Chenle mengangguk-angguk paham saat melihat rombongan pria itu berbicara satu sama lain.
Chenle mengamati mereka satu persatu, wajah-wajah itu tampak seperti murid baru, sama dengannya. Ia terkikik.
Tiba-tiba salah satu dari mereka menoleh ke arah Chenle, membuatnya refleks membuang muka ke arah lain.

KAMU SEDANG MEMBACA
A Story About Destiny | Jisung Chenle
FanfictionDaily short story of Chenle and Jisung. Temukan semua rasamu di cerita ini♡♡♡