Love Lesson

2.8K 288 21
                                    

"Zhong Chenle."

Park Jisung, lelaki dengan seragam rapi itu berteriak kesal.

Pasalnya hari ini Chenle lagi-lagi membatalkan jadwal privat bahasa koreanya dengan Jisung. Padahal sebentar lagi ujian sudah hampir tiba, Jisung tidak bisa membiarkan nilai semester Chenle rendah lagi.

Chenle yang hampir berhasil meloloskan diri dari tambahan mata pelajarannya sore ini berdecak kesal. Ia menoleh ke belakang dengan wajah ditekuk, bibirnya cemberut.

Park Jisung berjalan mendekat, ia membawa beberapa buku materi di tangannya.

"Sudah kubilang namaku Zhong Chenle." Chenle merutuk, "Zhong... Chen... Le!" ia mengeja namanya sesuai dengan ejaan China.

Jisung mengangkat bahunya tidak peduli, kesal dengan sikap murid pertukaran pelajar di sekolahnya.

"Terserah padamu, ambil ini." Jisung menyerahkan setumpuk buku pada Chenle yang hanya terbengong-bengong.

"Dasar tidak ramah!"

Chenle mengumpat dengan bahasa mandarin-nya.

Jisung hanya diam saja, entah tidak paham atau tidak perduli.

Mereka berjalan ke arah perpustakaan. Jisung berlalu terlebih dahulu, diikuti Chenle yang mengambil langkah kecil-kecil, mengulur waktu agat tidak terlalu lama berduaan dengan Jisung.

Di sudut ruangan Jisung berhenti, menarik kursi, menempatkan diri di sana tanpa mempersilahkan Chenle untuk duduk di sampingnya.

Mulut Chenle berkomat-kamit menahan umpatan pada tentor khusus-nya. Kalau bukan atas saran pengajar di sekolah, ia pasti sudah menolak mentah-mentah ide privat bahasa korea-nya dengan si aneh Park Jisung.

Chenle menggeret kursinya cepat, lalu membuka buku yang tadi diserahkan oleh Jisung.

"Kita bisa mulai dari Bab 7. Aku ingin kau membaca essay dulu." Jisung menyerahkan kertas berisi beberapa catatannya kepada Chenle.

"Bisakah kau bicara pelan-pelan?" Chenle terbata-bata mengucapkan kalimatnya dalam bahasa korea. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan." Kali ini menyambung dengan bahasa Mandarin.

"Berhenti bicara dengan bahasa mandarinmu, kau terdengar seperti dari planet lain." Jisung menyilangkan lengannya di depan dada.

"Apa? Planet lain?" Setidaknya Chenle sudah banyak mengerti apa yang Jisung katakan.

Chenle enggan melanjutkan perdebatan mereka, ini tidak akan ada akhirnya. Ia memilih mengalah, memfokuskan diri pada essay di depannya.

Mereka mulai membahas beberapa materi dan cara penulisan Chenle yang masih dalam tahap dasar. Jisung berkali-kali menghembuskan nafas untuk menambah level kesebarannya menghadapi Chenle.

Sekitar satu jam kemudian Chenle yang terlebih dulu meletakkan kepalanya di meja.

"Bisakah kita beristirahat sebentar?" Chenle memijit pelipisnya, pening dengan pembahasan siang ini.

"Oke." Jisung menyandarkan punggungnya ke kursi dengan santai, tangannya sibuk membuka aplikasi di ponselnya.

Bibir Chenle mengerucut.

Ini curang sekali, ia juga ingin bersantai seperti yang dilakukan Jisung. Tapi kepalanya tidak ingin diangkat dari meja.

Mata Chenle menerawang ke luar jendela, matahari mulai merunduk turun. Cahaya berwarna oranye terpantul dari luar. Chenle mengalihkan pandangannya pada Jisung.

Pria itu terlihat sangat bersinar saat di selimuti cahaya matahari sore. Chenle tersenyum.

"Kenapa tampan sekali..."

A Story About Destiny | Jisung ChenleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang