dua -hujan-

18 4 0
                                    

Semilir angin menembus kaca jendela kamar Pelangi. Anak-anak rambut Pelangi kini berterbangan kesana kemari. Terlihat mentari yang begitu hangatnya menyambut Pelangi yang baru saja terbangun dari mimpinya.
Tetapi itu semua berubah ketika awan hitam mulai menghampiri sang mentari. Seakan memberi kabar buruk dengan kedatangannya. Hujan. Sesuatu yang paling dicintai oleh Pelangi. Bagaimana tidak, jika dengan datangnya hujan dapat memutar kembali memori indahnya. Kenangan yang telah lama tersimpan. Sangat rapi. Hingga tak seorangpun yang mengetahui.

"Pel?"
"Iya, kenapa?"
"Aku kangen deh sama kamu. Kamu yang dulu. Kamu yang bawel."
"Aku juga kangen sama rayuan gombalmu itu. Aku cuma mau kita hidup berdua. Tanpa memikirkan yang orang lain katakan. Kamu mau kan?"
"Tentu saja!"
Namun, hingga kini bahkan untuk menemuimu saja, aku kesulitan. Iya, aku kesulitan membangun kembali rumah berbalutkan 'cinta' yang tlah kita robohkan setahun setelah kau mengatakannya. Aku merindukanmu Jingga-ku.

Setelah terlepas dari lamunan masalalunya. Pelangi pun beranjak ke ruang makan. Dimana kini ruangan itu telah dihampiri oleh dua manusia yang sedang berbincang-bincang. Bukan. Sangat tidak tepat bila dikatakan sebagai perbincangan. Karena mereka ternyata sedang membicarakan dirinya.

Oh Tuhan, mengapa ada manusia pengganggu ini lagi?

"Pel?! Kamu sudah bangun?! Ayo kemari. Aku dan Mama telah membuatkanmu sarapan." ucap lelaki bertubuh tinggi putih di depannya. Namun, Pelangi tak menghiraukannya. Justru ia malah menghampiri sang Mama yang tengah sibuk menaruh nasi goreng hasil buatannya.
"Ma? Dari kapan tu orang kesini?" ucap Pelangi berbisik
"Dari tadi. Katanya dia mau ngajak kamu jalan. Kemaren dia udah bilang sama kamu, kalo dia mau minta temenin kamu ke suatu tempat." jelas sang Mama
"Ish! Nyebelin banget sih?!"
"Ga boleh gitu sayang, udah ah. Ayo kita sarapan!"

Saat sarapan, ketiganya hanya bungkam. Hanya terdengar suara dentingan sendok garpu yang bertemu dengan piring. Sesekali Rora membuka percakapan dengan Langit. Tapi selalu saja ditepis oleh argumen Pelangi.

"Pel?"
"Bisa ga sih kamu kalo manggil aku ga pake 'Pel'??!"
"Ga bisa, karena aku suka nama depanmu."
"Terserah!"
"Habis ini kamu mandi ya Pel, terus pakai pakaian yang membuatmu semakin cantik. Aku mau mengajakmu pergi."
"Jadi menurutmu aku berpakaian seperti ini tidak cantik?!"
"Kamu cantik. Akan selalu cantik. Bagaimanapun penampilanmu. Kamu tetap Pelangi yang cantik."
"Terserah apa katamu. Aku mau mandi!"
Pelangi segera berlari menuju bilik kamar mandi di dalam kamarnya.

Memang terkesan aneh ketika mengetahui bahwa Langit suka berbicara dengan gaya bahasa yang sedikit formal. Ketika bicara dengan siapapun, ia selalu begitu.
Setelah lebih dari 2 jam ia menunggu, akhirnya yang ditunggu pun tiba. Sungguh memanjakan mata. Pelangi mengenakan mini dress berwarna pink peach dengan renda-renda disekitar bahunya. Dengan menambah kesan feminimnya, ia mengenakan sepatu dengan hak yang tidak terlalu tinggi. Menurut Langit, ini adalah kali pertama ia melihat bidadari benar-benar ada di depan matanya.

"Kamu lihat apaan sih?" sehubungan dengan gaya bahasa Langit yang berbeda, maka Pelangi pun mengikutinya.
"Aku melihat bidadari cantik di depanku." ujarnya tanpa mengalihkan pandangannya terhadap Pelangi
"Udah ah, ayo berangkat!-
"Tapi, aku ga salah kostum kan?"
"Enggak, dimataku kamu gak pernah salah kostum." kata Langit dengan tersenyum lebar hingga memperlihatkan barisan putih berseri di dalam mulutnya.

Langit memang selalu kehilangan kata-kata saat menatap wajah cantik Pelangi. Berbeda dengan Pelangi, hingga kini ia hanya menganggap itu semua sebagai apresiasi belaka.

"Ini kan masih hujan Lang, nanti kalo kebasahan gimana?" tanya Pelangi yang mulai risih ketika ditatap terus menerus oleh Langit.
"Gapapa Pel, kita bukannya mau pergi piknik atau berdansa di suatu pesta,"
"Terserah, tuan Langit saja" jawab Pelangi yang menirukan suara Langit.
"Hahaha, sudahlah. Ayo kita pergi,"
"Let's!"

"Maa... Pelangi pergi dulu!!"
"Tante, terimakasih ya sudah membolehkan saya untuk menculik bidadari cantik ini. Saya sangat bersyukur." ucapnya sambil meraih tangan kanan Rora dan mengecupnya lembut.
"Iya, hati-hati ya. Jangan pulang terlalu malam ya sayang!" pesan Rora.

Di dalam mobil...
"Memangnya kita mau kemana sih, Lang?" tanya Pelangi penasaran.
"Nanti juga kamu tau,"
"Tapi aku bosan, Lang!!"
Langit yang mendengar hal tersebut cepat-cepat menghidupkan musik yang ada di dalam CD Player miliknya. Ia tahu betul lagu favorit gadis jutek itu. Ia pun segera memutar lagu tersebut. Goodbye For Now.

Setelah melakukan perjalanan selama 15 menit dengan hanya terdiam, mereka pun tiba di tempat tujuan. Kini hujan telah reda, berganti mentari dan langit biru yang seakan mengerti bahwa mereka sedang menikmati hari.
Pelangi sangat kebingungan ketika tiba disana. Tentu saja. Ketika ia melihat plang bertuliskan "Rumah Lestari". Rumah Lestari merupakan rumah  kedua bagi Langit. Dulu, ketika ia berusia 5 tahun, ia tinggal disini bersama beberapa orang saudaranya yang kini telah...meninggalkannya. Sendirian.

"Kenapa kesini?" tanya Pelangi sambil mengekori Langit yang berjalan menuju taman kecil di depan mobil Langit.
"Kamu akan jadi masa depanku, Pel. Jadi, aku mau kamu tau tempat pertama kali aku menginjakkan kaki di bumi ini."
"Aku ga ngerti Lang,"
Langit terkekeh,"Kamu ga perlu mengerti untuk hal yang ga seharusnya kamu ngertiin, Pel. Kamu cukup mengerti aku, aku yang mencintaimu." katanya sambil membungkukkan tubuhnya yang tinggi di depan Pelangi. Lalu meraih tangan kanan Pelangi dengan lembut. Dan melingkarkan sebuah cincin emas putih dengan ornamen huruf 'P' yang berarti Pelangi.

Pelangi terkejut, benar-benar kaget. Hingga mungkin saja, jantungnya keluar untuk berlari-lari sekadar melihat keadaan diluar.

"Lang?"
"Pel?"
"Lang?"
"Sebentar-sebentar, jika ingin mengucapkan kata 'Pelangi' kau tak perlu ragu. Ucapkan 'Pel' dulu, lalu 'Lang'. Oke?" ucapannya berhasil membuat Pelangi terkekeh pelan.
"Ini apa Lang???"
"Cincin."
"Untuk apa?"
"Untukmu, dariku. Sebagai tanda bahwa aku mencintaimu."
"Tapi kamu terlalu cepat, Lang?!" nada bicaranya terdengar sedikit kasar.
"Tidak apa-apa, Pel. Aku mencintaimu. Sangat."
"Tapi aku gabisa Lang, aku ga cinta sama kamu."
Seketika tubuh Langit seperti tertusuk ribuan belati hingga menyayat-nyayat hatinya. Ia sangat hancur mendengar pengakuan Pelangi. Sedetik kemudian, Pelangi berlari menginggalkannya dengan cincin yang ia buang ke tanah.
Jika ada kompetisi wanita paling jahat sedunia, maka Pelangi lah pemenangnya.

Pelangi terus berlari menuju halte bis terdekat. Kini tampilannya sudah tak keruan. Sepatu yang ia lepas, sudah entah kemana. Rambut yang tadinya digerai indah, kini telah kusut seperti benang yang tak bertemu ujungnya.

Namun, bukan hanya tampilan Pelangi yang tak keruan, melainkan ada yang penampilannya lebih tak keruan, yakni Langit. Ia masih berdiri memandangi jalanan tempat Pelangi melarikan diri. Ia masih tak percaya bahwa wanita yang selama ini ia kira menyayanginya, justru meninggalkannya. Sendirian. Kemudian, ia teringat akan cincin indahnya. Dicarinya kesana kemari, tetapi tak terjumpa.

tempat berpulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang