Bab 1

4.6K 74 8
                                    

"Wisudawan terbaik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia diraih oleh dokter muda Cut Mutia Zulfikar." Saat namaku disebut tak terkira rasa kagetku. Spontan kedua mataku mencari-cari seseorang dikerumunan tamu yang hadir. Tempat duduk kedua ayahku sedang menatapku. Kulihat ada air mata di pelupuk matanya, kulihat ada pancaran sinar kebahagiaan pada wajahnya.

Aku memeluk erat kedua ayahku. Kegembiraan ini, prestasi ini kupersembahkan untuk mereka. Ayah Zulfikar adalah ayah kandungku, sedangkan Papa Hendy adalah ayah angkatku.

26 Desember 2004

Aku berusia sepuluh tahun saat peristiwa ini terjadi, peristiwa yang dikenang oleh seluruh dunia, peristiwa yang menelan banyak korban ribuan orang meninggal dunia, ratusan anak menjadi yatim, ratusan perempuan menjadi janda, bahkan ratusan orang menjadi cacat tubuhnya. Tragedi ini selalu mengikuti langkahku.

26 Desember adalah hari ulang tahun adik bungsuku, aku adalah anak ke-dua dari tiga bersaudara. Kakakku Firman berusia lima tahun diatasku, begitu juga adikku Ryan dia berusia lima tahun dibawahku. Hari itu hari minggu tanggal 26 Desember Ryan genap berusia lima tahun, ayah dan ibu ingin mengadakan tasyakuran kecil-kecilan.

"Firman, mak dan ayah mau kepasar sebentar tolong jaga adik-adik ya...."

Kudengar suara ibuku berteriak.

"Iya, Mak." Kudengar juga jawaban abang Firman tak kalah teriakannya, siapa sangka teriakan itu adalah teriakan terakhir mereka, keluarga kami tinggal di desa Meunasah Masjid, Lhoknga sekitar 5 km dari pantai Lampuuk di Aceh.

Ayah dan ibuku adalah pegawai kesehatan, walau hidup sederhana kami berkecukupan. Aku selalu bangun kesiangan setiap hari minggu, tetapi hari itu aku bangun pagi karna ingin membantu Ibuku untuk menyiapkan ulang tahun Ryan, setelah mandi aku membangunkan adikku Ryan.

"Ryan, selamat ulang tahun....Ayo bangun dek...."

Kugoyang-goyangkan badan Ryan, tetap saja matanya tertutup tertidur pulas. Di ruang tengah kulihat abangku Firman sedang menonton film kartun Doraemon.

"Abang, aku mau ke tempat Yanti bentar, mau kasih tau nanti ada ulang tahun Ryan." Kataku meminta ijin abang Firman.

"Cepat, jangan lama-lama nanti emak marah...." Jawab abang tanpa melihatku, matanya tertuju pada film kartun.

Kuambil sepedaku, pagi yang cerah aku ambil tas kecilku dan mengayuh sepeda menuju rumah Yanti sahabatku. Ditengah perjalanan, aku dan sepedaku seperti terlempar, aku terjatuh, lututku berdarah, kulihat orang-orang berhamburan keluar rumah sambil berteriak-teriak. "gempa....gempa...."

Untuk sesaat aku tidak bisa bergerak, kaki dan tanganku luka karna jatuh dari sepeda. Aku menangis, tak ada seorangpun yang menolongku, mereka sibuk sendiri. Terlihat beberapa rumah tetanggaku rubuh. Setelah gempa berhenti aku teringat Ryan dan abang Firman di rumah, dengan sedikit kesakitan aku berdiri dan mengambil sepedaku, aku bersepeda menuju rumahku.

'Ryan, Ryan, tolong....tolong....tolong." Kudengar teriakan abang Firman dari kejauhan.

Aku tercekat, kulihat rumahku hampir rubuh semua. Kulihat kamar dimana adikku Ryan sedang tidur rubuh. Beberapa tetangga yang mendengar teriakan abang Firman datang dan menolong abangku yang sedang menangis.

Kudengar suara Pak Abu mengatakan kalau Ryan meninggal karna tertimpa reruntuhan rumah kami. Ayah dan Ibu belum pulang, karena mengingat jarak pasar dan rumah kami yang cukup jauh sekitar 15 km. Kami berdua masih menangis, aku memegang tangan abang Firman, seakan tidak percaya kalau rumah kami telah rubuh dan Ryan ada didalam rumah.

Tiba-tiba kudengar suara orang-orang berteriak "Lari....Lari....Lari....Ada banjir...." Kudengar juga suara bergemuruh seperti suara air dan angin yang datang bersamaan.

TsunamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang