.
Ichigo menarik-narik resah dasi, berat napas berembus merasakan pengetatan di leher. Ada rasa sesak menekan tetapi tidak terdefinisikan dengan pasti. Dia tidak suka meski bukan untuk pertama kali mengalami. Berdiri dengan kedua kaki berbaur di dalam kerumunan ramai.
Demi Kami-sama, Ichigo bukan seorang anti sosial atau orang aneh yang mengidap sosiophobia. Dia bersosialisasi dengan sangat baik malah. Teman yang banyak, keluarga ceria, kekasih perhatian, dia punya semua yang mematahkan teori tidak masuk akal bahwa dia anti sosial.
Sesuatu terjadi, mengubah setiap bentuk kebiasaan menjadi sedikit janggal. Disaat yakin situasi baik-baik saja, tubuhnya berontak memperingatkan. Pasti ada sesuatu tidak beres, seperti potongan puzzel memiliki bagian yang hilang, atau permainan game yang tidak terselesaikan karena ada misi yang terlewatkan. Ichigo sadar, hanya saja—hingga kini sama sekali belum mampu memahami.
Setidaknya Ichigo tahu pernah mengalami kecelakaan lalu lintas ketika duduk di bangku universitas. Salah satu penyebab menjadi asal mula masalah, menjadi pegangan menormalkan keresahan. Berbulan-bulan koma mungkin hampir mematikan beberapa saraf, mengubah psikis menjadi sedikit berbeda. Keluarganya meyakinkan Ichigo pulih dengan baik, sayang hati menyangkal bahwa ada sesuatu yang telah ditinggalkan.
Karena itulah dia berubah, tetapi—Ichigo tetap belum tahu asal mula perubahan.
Ah—seharusnya dia tidak perlu berbesar hati menurut tanpa perlawanan saat kekasihnya bersikeras agar dia tetap hadir diacara reuni sekolah padahal kekasihnya sendiri tidak menemani. Dokter sudah pernah mengingatkan berulang bahwa ada beberapa situasi yang nantinya tidak tertangani, tapi lagi-lagi keangkuhan seorang Ichigo mengabaikan setiap peringatan, bersikap semua bisa ia tanggung.
Dia benci berada di kerumunan orang banyak tanpa ada yang dikenali.
"Kau berubah menjadi orang hebat, Ichigo."
Alih-alih merespons tanggapan positif teman seangkatan, sudut mata Ichigo memilih mengawasi sudut lain ruangan. Bukanlah aneh karena tidak hanya si surai oranye menjadi tersangka, beberapa orang malah tampak sengaja terang-terangan menatap sembari saling berbisik.
Seseorang berdiri di sudut ruangan berbaur dengan tamu undangan, menggandeng mesra lengan pasangannya. Tidak tampak raut terganggu meski diyakini seratus persen sang objek sadar tengah menjadi bahan pergunjingan. Orang itu malah makin manis tersenyum bergelayut manja.
"Ah, dia juga menjadi salah seorang yang berubah. Aku dengar saat kelulusan, karena membutuhkan uang dia bersedia menjadi perempuan bayaran. Wajar kau heran, kurasa berita itu belum sampai padamu dulu."
Tidak pula memberi tanggapan, Ichigo membiarkan temannya bercerita panjang lebar sejarah kelam kehidupan orang lain. Mata kuning madunya masih terpaku—berpikir, benaknya tidak menyangkal ada sesuatu pada orang itu yang membuatnya tidak mampu mengalihkan pandang.
Demi Kami-sama, Ichigo bukan pria hidung belang yang suka melirik perempuan lain saat tidak didampingi kekasih. Serius, bukan.
Bukan tentang ketertarikan antara laki-laki pada perempuan. Hanya—aneh.
.
.
"Kau baik-baik saja?"
Menggeleng kuat. Menunduk duduk di kursi memanjang dekat dengan kamar kecil. Basah kerah kemeja di aliri keringat bercucuran melalui pelipis merambat ke leher. Penglihatan Ichigo antara fokus tak fokus pada ubin putih lantai, kepalanya berat serasa di hantam godam.
"Maaf, bisakah bawakan air kesini?"
Buram Ichigo sadar ada seseorang berdiri di hadapannya, kaki putih yang dibalut hels hitam runcing mengentak ke kiri dan kanan. Dia resah, tetapi tidak panik. Entahlah, bahkan Ichigo tidak bisa begitu yakin akan situasi karena rasa tidak nyaman yang tengah menggerogoti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Luar Jangkauan Pelangi
FanfictionRasa sakit ini, seharusnya sudah diakhiri. Bagi Ichigo, seharusnya membangun hubungan bersama Orihime adalah kesempatan terbaik yang pernah diberikan sepanjang hidupnya walau ada masa lalu yang menghantui. Bagi Orihime, Rukia adalah masa lalu yang...