2. Rainy

230 15 6
                                    

.

"Kau mulai merokok? Itu tidak baik lho. Padahal sudah akan lulus."

Lirikan santai, seperti tidak menggubris hisapan kuat lalu disusul dengan embusan panjang kepulan asap. Setelahnya benda berbahan nikotin terabaikan untuk waktu lama, memilih hanyut dalam kebisuan—tidak peduli orang yang menegurnya sudah mengambil posisi duduk di sebelah.

Kuchiki Rukia.

Terdiam mereka menatap lurus. Mungkin pada langit, atau mungkin barisan semut yang memerlukan penglihatan ekstra untuk melihat. Orang yang melihat mungkin beranggapan mereka sedang bermain peran bisu, atau mungkin dua orang sedang bertengkar tidak ingin saling bicara. Terlalu asyik berdiam, bahkan mungkin bila ada invasi alien mereka akan tetap bertahan dalam posisi serupa.

"Jadi—ibumu masuk rumah sakit tadi pagi?"

Si surai oranye tidak menjawab. Hisapan berikutnya menjadi respons—dia stres.

"Aku melihat ayahmu di rumah sakit."

Tidak ada jawaban—lagi.

Lirikan ragu, gadis pemilik surai raven memilin ujung rok. Menyembunyikan gugup yang jauh dari karakter, membuat tampilan dinginnya luntur tersapu begitu saja. Masa bodoh dengan citra.

"Oh."

Ponsel bergetar di saku si surai oranye. Orang di sebelahnya menyadari, karena mereka sama-sama melirik saku celana sang pemilik ponsel. Ragu dia meraih, mengerutkan dahi setelah membuang puntung rokok ke tanah. Bosan iris kuning madu tidak ada percikan menatap layar ponsel, membuka pesan masuk.

Hanya helaan napas berat—selalu keluhan. Tubuhnya beringsut berdiri menyampirkan tas ke bahu, tidak memperhatikan orang yang duduk di sebelah menunggu dengan perasaan khawatir.

"Aku duluan ya, sampai ketemu di rumah sakit."

.

.

Rukia paham akan rasa sakit, sepanjang enam belas tahun hidupnya—sejak kecil dia sudah tumbuh tanpa ayah dan ibu, dirawat penuh kasih oleh seorang kakak perempuan. Sayang—memasuki bangku sekolah menengah, kakaknya mewarisi penyakit turunan yang menewaskan sang ibu. Kakaknya mulai rutin keluar masuk gedung yang identik cat putih dan selalu beraroma obat-obat menyengat.

Setiap hari, dengan kedua mata harus tahan menyaksikan tubuh kakaknya tumbuh mengurus. Pasrah menerima waktu bahwa cepat atau lambat satu-satunya anggota keluarga akan segera menyusul kedua orang tua. Segala pengobatan telah diusahakan, tidak ada yang bisa dilakukan lagi. Dokter pun sudah berbicara serius bahwa tergantung Kami-sama memberikan waktu untuk kakaknya tetap bernapas.

Sudah cukup.

Dia mengerti—amat sangat tahu.

Karena itu—dia diam tidak berkomentar saat orang tua dari senior di sekolah mendatangi. Hari ini dia telah bersikap seperti seorang malaikat, memberikan pertolongan psikis karena ia yang begitu paham cara untuk menangani.

Ayah dari seniornya itu mengucapkan ribuan terima kasih, Rukia sendiri tidak ingat sudah berapa kali diucapkan. Mungkin paman itu tidak akan berhenti sampai akhirnya Rukia pamit pulang. Sayang terkaannya salah. Saat hendak pergi, paman itu berlutut—menangis memohon. Meminta pengampunan pada permintaan tidak pantasnya tapi tetap bersikukuh Rukia menerima walau membebani.

Satu permohonan, penambahan dari rasa sakit.

'Tolong temani putraku sampai dia bisa siap menerima keadaan.'

.

.

"Sibuk memikirkan pekerja, Tuan Sibuk?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 02, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Di Luar Jangkauan PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang