Rea celingak-celinguk sebentar saat kelas sudah sepi dari manusia selain dirinya sendiri. Bel istirahat telah berdering beberapa menit yang lalu, Dara tidak masuk hari ini jadi Rea malas ke kantin seorang diri. Mau mengajak Aksa laki-laki itu pasti sedang shalat zuhur bersama teman-temannya. Biarpun tidak apa si Aksa mau?
Rea berpikir sebentar dengan tangan kiri memperbaiki bandonya yang terasa tidak pas di kepala, gadis itu terkekeh aneh kemudian celingukan lagi, meraih ranselnya dari kolong meja dan merogoh benda pipih berselimut oranye dari dalam sana. Ponsel.
"Di sana aja, deh,"
Rea berderap menuju belakang kelas, tepat dibelakang kursi milik Regan, disudut ruangan bagian kiri. Ia duduk di sana dengan punggung bersandar santai pada tembok kelas itu. Gadis itu mengetikkan beberapa deret kata di kolom pencarian video online dengan perasaan was-was karena takut ada yang memergokinya. Rea mengintip dari bawah meja-meja dan mendapati tidak ada tanda-tanda keberadaan manusia yang akan memasuki kelas.
"Mari kita tonton," Rea berdecap namun wajahnya sedikit pias.
"Umi gue setiap hari mantengin emak lo, abang gue mantengin bapak lo, abi pun ikut-ikutan," Hafid mengadu pada Gail, lalu lelaki berhidung indah itu terkekeh sendiri ketika mengingat tingkah lucu keluarganya.
Gail tersenyum tipis mendengar itu, salah satu cerita yang kerap ia dengar dari orang -orang disekitarnya. "Kalau Lo?" tanyanya kemudian. Pertanyaan ini hanya ia berikan untuk Hafid, selama ini Gail enggan untuk membalas hal semacam itu, ia pasti hanya akan memberikan sedikit senyum dan jika diperlukan ia akan menambahi dengan ucapan terima kasih.
Hafid terkekeh lagi, "Gue ... mantengin mereka semua."
Aksa yang berdiri di samping Gail ikut tersenyum, ia juga baru tahu kalau Gail adalah anak dari kedua orang tua yang luar biasa kerennya.
"Ga, lo pernah nggak sih ngerasa kesel sama kepopuleran orang tua lo? Maksud gue ... lo nggak jadi kekurangan sesuatu atau apalah, kan?" Hafid yang menyelesaikan tawa beralih ke mode serius, ia selalu terpikirkan hal ini.
Gail mendengus, "Lo sekarang lebih mirip wartawan." laki-laki itu memandang lantai sebentar kemudian kembali mengangkat kepala, "Bunda atau Ayah nggak pernah biarin gue kekurangan sesuatu apapun," ia menoleh Hafid lalu Aksa, menampilkan sorot serius untuk semua ucapannya.
Aksa menelan ludah saat topik pembicaraan mulai menyeretnya untuk mengingat sang mama dan juga papa, kemudian ikut menarik sudut bibirnya melihat raut bangga dan bahagia Gail.
"Tapi ...." Gail menggantung sebentar ucapannya, seperti yang bundanya katakan, berikan kalimat yang tepat dalam porsi yang juga tepat. "Gue sedikit risih sama ekspektasi orang-orang."
Dua laki-laki yang mengapitnya terdiam.
Gail mendesah berat, "Gue adalah perpaduan dari dua orang manusia yang mendekati sempurna di antara manusia yang hidup pada zaman ini, dari perpaduan itu semua orang mengklaim bahwa gue itu ... sempurna, Bunda kurang di bagian ini dan Ayah kurang di bagian itu, mereka saling melengkapi dan menyempurnakan, lalu hasil dari sempurna itu adalah gue."
Aksa meresapi setiap kalimat yang terlontar, Gail tidak pernah bicara sepanjang dan seserius ini.
"Padahal enggak, gue nggak sehebat itu untuk mewarisi segala segi kerennya mereka." laki-laki itu tersenyum kecut, "Gue kehilangan banyak teman gara-gara ibunya sering banding-bandingin anaknya sama gue. Sering banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Road to Jannah
Teen FictionEdrea adalah seorang musdahir-Muslim dari lahir yang sayangnya tidak mengenal Islam sama sekali. Sementara Aksa adalah seorang mualaf delapan bulan lalu yang sudah cukup memahami karakteristik agamanya. Lantas bagaimana jika dua orang ini di pertemu...