8. BUKAN SALAHMU

2.4K 183 1
                                    

Rea menerobos masuk ke dalam ruang rawat Aksa tanpa mengindahkan petuah dari dokter bahwa laki-laki yang baru saja membuka mata itu masih perlu banyak istirahat. Masih sangat-sangat lemah. Aksa akhirnya sadar setelah hampir dua jam disuguhi beragam alat medis.

Aksa meringis saat merasakan sakit yang luar biasa pada kepala bagian dalamnya, rasanya berdenyut dan seperti tertusuk. Laki-laki itu menggerakkan pelan tangan kirinya yang dibebat, berusaha membenarkan selimut yang tidak menutup utuh kakinya, juga ada bebatan disana, Aksa tidak mau seseorang melihat semua itu.

"Maafin gue, Sa." Rea tiba disana dengan sorot bersalah, kemudian mata panasnya kembali berembun. "Gue yang keterlaluan. T-tapi gue nggak tahu kejadiannya bakalan kayak gini."

"G-gue takut lo kenapa-napa,"

Gadis itu menatap nyalang dengan napas memburu, beralih menyorot kepala Aksa yang terlilit perban, kemudian benar-benar terisak. "Lo ... marah ya?" Rea bertanya disela tangisnya saat Aksa tak kunjung bicara.

"I-ini sakit?" tangannya bergerak menyentuh perban yang melilit kepala Aksa, mengelusnya sedikit membuat laki-laki itu mendesis. Rea segera menarik tangannya, sedikit terpaku melihat ekspresi Aksa yang untuk kian kalinya sangat menggemaskan. Rea tak tahu, rasanya ia ingin mencubit pipi laki-laki itu.

"Pipi gemoy lo ada lebamnya," gadis itu menghapus air matanya, namun sorot bersalah tak hilang dari sana.

"Ini salah gue, maaf, maaf, maaf."

Aksa membasahi bibir, "Bukan salahmu," ia mengulas senyum, tersentuh pada sisi lain seorang Edrea Letanisha, dan Aksa memang menyatakan dengan jujur, Rea tidak bersalah, gadis itu tidak tahu apa-apa.

"Ini salah gue."

"Gue keterlaluan."

"Tapi sumpah gue nggak pernah kepikiran kayak gini."

"Nggak papa, Edrea." Aksa kembali mengulas senyum agar Rea berhenti menangis dan menyalahkan dirinya sendiri.

Senyap untuk beberapa saat.

"Lo ... mau minum?"

Aksa mengangguk. Tenggorokannya benar-benar kering sejak pertama kali ia membuka mata.

Rea membenarkan posisi bantal Aksa agar lebih tinggi, pelan-pelan ia mendekatkan gelas itu dan meminumkan isinya pada Aksa, namun karena gelasnya terlalu penuh, sedikit air tumpah di pipi laki-laki itu, Aksa hendak mengelapnya namun tangan Rea sudah bertengger manis disana, mengusapnya pelan.

"Sudah." Aksa memiringkan kepalanya segera, merasakan tangan itu bergerak terlalu lama disana.

"Modus dikit," Rea menyengir kemudian menatap tangannya dengan sorot takjub, "Baru aja gue nyentuh pipi gemoy lo, gue janji nggak akan cuci tangan!"

Aksa mendesah berat mendengar semua itu.

"Lo ... ada masalah sama ...." Rea menggantung ucapannya setelah beberapa menit saling diam, takut kalau Aksa tersinggung. Disisi lain ia tak punya kalimat yang pas untuk mengungkapkannya pada Aksa.

"Saya terlalu rindu, saya terlalu berlebihan dalam berharap, dan saya kecewa pada kenyataan," Aksa buka suara setelah kian detik berpikir, bibirnya kembali rapat saat Rea membuka setengah bibirnya.

"Sama mama lo- maaf kalau gue,"

Aksa diam, kemudian mengangguk.

"Saya tidak diizinkan menemuinya sebelum dia yang meminta bertemu, saya sudah menunggu selama delapan bulan lebih, dan ... saya sudah berekspektasi bahwa pertemuan hari ini akan melahirkan pertemuan-pertemuan lainnya, dia akan memaafkan saya ... dia akan kembali menerima saya, Dia .... "

The Road to JannahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang