14. MA, SIAPA TUHAN KITA?

2K 152 0
                                    

"Ma,"

"Kenapa?" Indira meletakkan majalah yang sedari tadi menjadi pusat perhatiannya. Menoleh sang anak yang berdiri kaku dengan ekspresi tak terbaca.

Rea diam.

"Re?"

"Reaa,"

"Edrea!"

"Ah! Neraka!"

Indira mengernyit, "Apa?"

Rea menggaruk pipi kemudian beranjak pelan untuk duduk di ayunan yang mamanya tempati, Indira yang semula duduk di tengah bergeser ke pinggir. gadis itu tak hentinya menghela napas berat. Ia memandang area taman berukuran sedang yang ada di depannya, didominasi oleh bunga berwarna ungu dan putih. Samar-samar tercium wangi saat angin berembus menerpa wajahnya.

"Ma," gadis itu beralih memandang langit, "Kenapa keluarga kita segelap ini?"

Indira yang semula ingin merogoh teh di atas meja bundar disampingnya mengurungkan niat. Wanita dengan rambut ikal itu menoleh sang anak yang tengah menatapnya, menampilkan sorot lain dari seorang Edrea, garis bibir yang tampak berbeda, seolah-olah ia baru saja menampilkan 'ekspresi baru' yang tak pernah ditunjukkannya pada siapapun.

"Ma, kenapa keluarga kita segelap ini?"

"Edrea?"

"Menurut Mama, apa orang kaya kayak kita nggak perlu Tuhan?"

Pandangan Rea teralih, jatuh menatap rumput halus yang dijejak oleh kedua kakinya. "Ma, siapa Tuhan kita?"

Indira menelan ludah, perasaan aneh mendadak menelusup saat ia mendengar semua itu, wanita itu menggerakkan kaku bibirnya kemudian hanya napas berat yang terdengar, ia tidak tahu harus bicara apa.

"Ma, kenapa Rea nggak kenal Tuhan dan apapun tentang agama kita,"

"Kita muslim, kan, ma?"

"Agama kita Islam, kan, Ma?"

Indira mengangguk penuh untuk pertanyaan itu.

Rea mengalihkan pandangan dengan senyum kecut, "Tapi kita nggak punya satupun ciri-cirinya orang Islam. Semalam dan tadi di sekolah Rea udah renungin ini, enggak sih, Rea kepikiran tentang ini sejak kenal seseorang. Dia bukan musdahir kayak kita, dia mualaf beberapa bulan lalu yang sudah ngorbanin banyak kebahagiaannya, dibenci orang tua dan bahkan diusir dari rumahnya sendiri. Demi siapa dia rela begitu? Demi Allah. Demi Tuhan yang selama ini kita abaikan."

Perlahan air mata menggenang di pelupuk mata gadis itu, ia menelan ludah kala merasakan sakit pada tenggorokannya, "Ma, kenapa kita kayak gini? Rea ... nggak nyalahin Mama ataupun papa, tapi ... kenapa dari kecil sampe sekarang Mama nggak pernah sedikitpun menyinggung perihal Tuhan, perihal spiritualitas kita."

"... Rea tahu Rea belum cukup dewasa, tapi Rea rasa semua ini berhak untuk dibahas," mata basah itu menyorot teduh sang Mama, "Ma, tanpa Tuhan, kita nggak akan baik-baik saja, akhir kita nggak bakalan indah."

"Kita perlu Allah."

"... untuk hidup kemudian mati,"

The Road to JannahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang