16 - Hukuman

50 2 0
                                    

Esok harinya Lala kembali pada rutinitasnya. Mengikuti kegiatan belajar di sekolah dan mengurus kegiatan organisasinya. Ia hanya berharap agar hari ini tidak ada lagi yang mengaduk-aduk hatinya. Perasaannya saat ini masih begitu kacau karena dua orang lelaki yang pertama kali dikenalnya di OSIS.

"Lala!"

Lala pun tersentak kaget.

"I-iya Bu."

"Kalo kamu tidak niat belajar sekarang, lebih baik kamu keluar! Saya tidak ingin ada siswa yang menyepelekan pelajaran saya."

"Maaf Bu. Saya-saya minta maaf."

"Saya perhatikan sejak tadi kamu memang tidak mau fokus mendengarkan materi saya. Saya minta kamu keluar sekarang!"

Baru kali ini Lala ditegur guru. Namun, itu sudah semestinya jadi konsekuensi akibat ia melamun di mata pelajaran kali ini. Benar-benar sial karena guru mata pelajaran sejarah yang dihadapinya sekarang merupakan guru yang terkenal galak dan tak mau mentolerir kesalahan apa pun.

Jadi, di sinilah Lala berakhir. Ia diusir keluar dari kelas, dilarang keras mengikuti mata pelajaran sejarah kali ini. Beruntung guru itu hanya menyuruh Lala keluar dari kelas tanpa memberi hukuman berat yang tadinya sudah terbayang di angan-angan Lala seperti membersihkan seluruh toilet sekolah, berdiri menghormat bendera di tengah cuaca terik ini, lari keliling lapangan, atau hal-hal melelahkan lainnya.

Lala memilih pergi ke ruang OSIS. Ia pikir tak ada salahnya jika waktu hukumannya kali ini ia gunakan untuk menyambangi ruang OSIS, siapa tahu ada hal yang bisa ia kerjakan di sana terkait kegiatan organisasinya.

Saat Lala memasuki ruang OSIS, suasana begitu sepi. Tak ada orang yang terlihat di sana. Namun, terdengar sayup-sayup suara musik lagu melankolis. Lala penasaran, ia pun berusaha mencari sumber suara.

Setelah menjelajah seluruh sudut ruang, Lala melihat Rafa bersandar di sudut ruangan sembari menatap layar laptopnya. Ternyata Rafa yang sedang menyetel lagu. Baru saja Lala akan beranjak pergi karena tak ingin berurusan dengan Rafa lebih lanjut, suara yang tak diharapkan terdengar menyebut nama Lala. Rafa terlanjur melihat kehadiran Lala.

"Lala."

Lala terpaksa meladeni Rafa sekarang.

"Eh kak Rafa,"

"Kamu ada perlu apa?"

"Ee gak ada apa-apa kok kak. Kalo gitu aku pergi dulu."

"Eits, jangan dulu! Kita perlu bicara. Please, tunggu La! Jangan pergi sekarang."

Akhirnya Lala menurut, ia mendekat ke arah Rafa dan duduk di sampingnya.

"Ya udah kak, ada apa?"

"Bentar deh, bukannya ini masih jam pelajaran ya? Kok kamu malah ke sini sih?"

"Kak Rafa sendiri ngapain ada di sini sekarang?"

"Loh kok malah nanya balik? Aku lagi jam kosong, guru mapel aku lagi ada urusan makanya gak bisa dateng."

"Oh gitu."

"Nah kalo kamu? Apa lagi jam kosong juga?"

"Gak sih kak. Sebenernya aku lagi kena hukum, tadi aku diusir dari kelas."

"Lah kok bisa? Tumben banget. Emang kamu bikin kesalahan apa?"

"Aku gak merhatiin waktu guru ngejelasin materi, malah ngelamun sendiri."

"Mapel apa sih?"

"Sejarah."

"Bu Andara??"

"Iya."

"Pantesan. Lagian kamu juga, kenapa ngelamun? Ngelamunin apa sih? Jangan-jangan gara-gara mikirin aku yaa?"

"Ihh PD banget sih kak?"

"Lah terus apa dong? Eh, maksudnya siapa? Kalo bukan aku, berarti, wah, apa mungkin Zain--"

"Apa sih kak? Gak mungkin lah." Lala mencoba menutupi kebenaran yang ada. Sebenarnya ia sampai melamun seperti itu memang karena ulah dua nama, Rafa dan Zain.

"Kamu bikin aku penasaran aja deh."

"Udah lah gak usah kepo kak!"

"Aku speechless aja, bisa-bisanya seorang Lala kena hukum guru gitu."

"Lebay ihh kak. Aku kan juga manusia biasa, wajar kan kalo berbuat salah? Kak Rafa gak mau bicara hal penting kan? Ya udah, aku pergi ya kak."

Lala hampir bangun dari duduknya, tetapi tangan Rafa menarik tangan Lala.

"Kak,"

"Tunggu La! Duduk dulu lah."

Lala menghembuskan napas panjang, ia kembali duduk.

"Lala. Pembicaraan kita yang waktu itu belum selesai kan?"

"Yang mana sih kak?" Lala pura-pura tak tahu.

"Tentang perasaan aku ke kamu."

"..."

"Lala, aku--"

"Please kak, aku gak mau ngomongin itu lagi."

"Tapi kenapa? Aku cuma butuh kepastian La."

"Bukannya aku waktu itu dah kasih kepastian ke kakak ya? Aku dah bilang kalo aku gak bisa sama kak Rafa kan?"

"Gak Lala. Aku tau perasaan kamu sebenernya gak kayak gitu."

"Terserah deh kak, aku capek jelasin ke kakak."

"Lala aku mohon."

"Kak, kalo kak Rafa ngomong soal kepastian, kakak sendiri yang gak bisa kasih kepastian ke diri kakak. Meski cinta kadang harus egois, tapi gak bisa lah kalo mau milikin dua sekaligus."

"Maksudnya karena Amel? Oke La, kalo gitu hari ini juga aku akan putusin Amel. Gak peduli gimanapun caranya, kalo perlu di depan mata kamu. Biar kamu percaya kalo saat ini hati aku memang cuma buat kamu."

"Kak Rafa gak boleh lakuin itu! Kak Amel bahkan lagi sakit. Jangan bikin dia tambah menderita. Aku ngerti gimana perasaan kak Amel."

"Kamu bisa mikirin perasaan Amel tapi sama sekali gak mau mikirin perasaan aku? Gimana nasib aku? Gimana nasib hati aku yang selalu tersiksa karena harus tetep bertahan sama orang yang gak aku sayang?"

"..."

"Aku akan buktiin kalo aku cuma sayang sama kamu Lala. Trust me!"

OSIS, I'M IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang