Pagi ini korden putih seakan menjadi saksi. Jika kini putih sudah tidak suci lagi. Semua telah berubah hanya dengan satu malam, berubah dengan cara yang menyakitkan. Deruan suara kipas angin seolah merintih, memaksa indera pendengaran yang enggan mendengar apa pun terlarut dalam perih. Bahkan, secercah cahaya mentari yang mengintip di sela-sela jendela, tampak mengejek begitu nyata.
Dan Dinda masih di sini. Memeluk tubuhnya sendiri dalam kesakitan yang tak bertepi. Dinda masih di sini, terbenam dengan isakan yang enggan berhenti. Dinda, tidak akan pernah bisa tersenyum lagi.
Seharusnya malam itu dia tidak pergi, menuruti ajakan teman-temannya untuk menghadiri pesta ulang tahun Panji. Karena pada akhirnya, tujuh belas tahun itu akan dilalui dengan sesakit ini.
Dia ingat dengan jelas saat bagaimana percakapan menyedihkannya dengan sang pacar setelah kejadian menjijikkan itu. Dengan enteng, pacarnya menggap kejadian sebesar ini adalah angin lalu.
"Semuanya akan berakhir dengan sangat mudah, Jeng,"
Dinda bangkit dari duduknya, saat mendengar suara dengan nada tinggi itu dari luar. Suara dengan bahasa sangat baku, seolah menggambarkan jika suasana di sana sangat menegangkan.
Dinda masih berdiri di balik pintu kamarnya, memandang dengan seksama dari ujung matanya ada beberapa sosok yang ia kenal. Orangtua Panji, dan juga orangtuanya. Bersitegang karena kesalahannya.
Dinda masih ingat dengan jelas, bagaimana marah ayahnya saat mengetahui ini semua. Bahkan, ia sempat akan diusir dari rumah dan tak dianggap sebagai anak. Untunglah ia masih memiliki Ibu yang mengasihaninya, berusaha sekuat tenaga untuk menegakkan keadilan atasnya. Mulai dari beberapa kali mendatangi rumah keluarga Panji tapi selalu diabaikan, kemudian mencoba melaporkan masalah ini ke kantor polisi. Namun sayang, musuh dari kebenaran yang dibawa oleh orang miskin adalah uang. Hingga akhirnya, apa yang diusakan sepenuh tenaga oleh orangtua Dinda hanyalah sia-sia belaka.
"Anak Ibu telah menghancurkan masa depan anak saya. Lalu, Ibu berkata seperti itu, Bu? Apa Ibu tidak pernah berpikir bagaimana masa depan anak saya? Bahkan, saya sendiri sudah tidak tahu lagi bagaimana nasib anak saya setelah ini," jerit Nina—Ibu Dinda frustasi.
Dia berulang kali memukul-mukul dadanya dengan sangat keras. Sambil terisak karena sudah tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan.
"Lho, kok jadi putra saya yang salah, Jeng? Bukankah dua tahun terakhir ini mereka pacaran, kan?" kata Anggun—Mama Panji tidak terima.
Ternyata, pertemuan yang dibuat oleh keluarga Panji ini pun tak menghasilkan apa pun. Sebab bagi keluarga kaya itu, keluarga miskin adalah keluarga yang pantas dipandang sebelah mata.
"Kalau suka sama suka ya tidak bisa menyalahkan anak saya, dong. Itu anak Jeng Nina, kalau tidak merayu anak saya, mana mungkin, sih, bisa sampai terjadi seperti ini, Jeng. Yang harusnya disalahkan itu anakmu itu! Anak perempuan kok bisa-bisanya tidak tahu diri!" sindir Anggun.
Dinda melihat ibunya diam membisu. Dinda yakin, jika ibunya telah membuang semua harga diri, dan malu karena ulahnya. Dan itu berhasil membuatnya semakin merasa bersalah.
"Ya sudah, tidak perlu berdebat seperti ini. Saya punya cara untuk menyelesaikan masalah ini. Saya sebagai orangtua Panji, tidak akan pergi dari tanggung jawab. Tapi biar bagaimana pun, kami akan bertanggung jawab dengan cara kami sendiri...," kata Agung—Papa dari Panji. "Saya akan memindahkan Dinda ke salah satu SMA terbaik yang mungkin letaknya agak jauh dari tempat ini. Agar semua hal-hal buruk yang mungkin nanti akan terjadi bisa segera diantisipasi. Kalian tidak perlu khawatir mengenai biayanya. Kami akan menanggungnya sampai nanti Dinda lulus SMA. Satu lagi, kami jamin tidak akan ada yang tahu masalah ini selain keluarga kita. Oleh sebab itu, Dinda bisa melanjutkan hidupnya, dan anak kami bisa melanjutkan hidupnya juga tanpa beban dari kalian. Bagaimana?"
YOU ARE READING
SPACE (Nathan Love Story)
Teen Fiction"Lo tahu, Din, sekeras apa pun manusia berusaha melepaskan diri dari bayangan. Maka, sebesar itu pula bayangan akan selalu berada dengan kita. Tanpa peduli, dia dihargai atau malah diabaikan keberadaannya." Nathan. Dinda tidak pernah bisa menyangka...