Prolog

61 0 1
                                    

Sedikit demi sedikit tumpukan sampah itu ia bongkar. Bau menyengat sampah busuk sudah akrab dengan penciumannya. Tangan kecilnya cekatan mengurai sampah di depan salah satu warung nasi pinggir jalan.

Matanya berbinar saat botol bekas air mineral nampak menyembul dari dasar tong sampah.

"Alhamdulillah, akhirnya, dapat lagi!" Serunya sambil segera memasukkan harta karun penemuannya dalam karung yang ia gendong.

"Dek, tolong bereskan lagi!"

Kepalanya menoleh ke sumber suara. Rupanya tukang bersih-bersih di warung nasi itu, "baik, Pak," jawabnya. Matanya sedikit melirik menu makanan yang tersaji di balik etalase. Ia menelan air liurnya. Jika saja ia bawa makanan enak itu ke rumah, adik-adiknya pasti senang.

Ia bertekad, suatu hari nanti, ia akan mewujudkannya. Ya, ia punya banyak mimpi. Dan itu salah satu dari mimpi kecilnya.

Kaki kecil itu berlari riang menuju komplek sekolah elit di kota Jakarta. Matanya kembali berbinar melihat anak-anak berpeci segera berhamburan membawa Al-Qur'an di tangan. Serta merta ia letakkan karungnya dekat tong sampah, ia lalu berlari ke belakang sekolah dan mulai memanjat pohon.

Mendengarkan betapa sejuknya bacaan anak-anak itu. Ia suka mendengarnya. Ia juga ingin seperti mereka.

Dan inilah kebiasaannya, setiap jam 9 pagi hingga jam 10, ia hanya duduk di atas pohon. Mendengarkan dan memperhatikan ustadz yang sedang mengajar anak-anak beruntung itu.

Ia punya mimpi, suatu hari ia bisa berada di antara mereka. Karena ia pernah mendengar, jika seorang anak bisa menghafal Al-Qur'an, maka kelak di akhirat ia akan memberikan mahkota untuk orang tuanya.

Dan inilah mimpinya. Ia ingin melihat ibu bahagia. Ia ingin memberikan mahkota untuk ibu kelak nanti.

Tepat jam 10, anak-anak itu berhamburan menuju kantin. Dan saat itulah ia turun dan menggendong lagi karungnya menuju Tuan Juned.

"Kenapa hasilmu makin sedikit?"

"Saya cuma dapat ini saja, Tuan."

Tuan Juned mulai menimbang dan memberikan beberapa lembar rupiah untuk anak itu.

Ia lalu berlari lagi menuju rumah tua yang menjadi tempatnya tinggal. Bapak nampak sedang tertidur di kursi bambu.

"Bu, Ahmad pulang!" Teriaknya dengan suara riang.

Seorang wanita berbusana lusuh keluar dari dalam, "bawa uang berapa hari ini kamu?"

"Lima belas ribu, Bu," jawab Ahmad kecil. Sang ibu lalu menerimanya. Dan seperti biasa, saat mendengar Ahmad menyetor uang, Bapak langsung bangun dan menghardiknya.

"Apa? Mana cukup?! Kenapa penghasilan kamu makin berkurang?!"

"Maaf, Pak."

"Apa kamu ngintip sekolah mahal itu lagi?! Hah?! Jawab?!"

"Ma-maaf, Pak, Bu, Ahmad hanya mau mendengarkan ngaji mereka saja."

Bapak naik pitam, "jangan mimpi kamu! Buat makan aja susah! Apalagi sekolah! Jangan mempersulit keadaan!"

Ibu tak bisa berbuat banyak, ia hanya memeluk Ahmad dan membasahi kedua matanya dengan tangisan. Hatinya teriris pedih dan pilu.

Maaf, Bu, Ahmad hanya ingin mahkota buat ibu.

Mahkota Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang