#1

119 1 1
                                    

Sayangku, ini adalah surat pertama yang kutulis untukmu dan hanya untukmu. Entah nanti kau membacanya sembari tidur-tiduran di kamarmu yang gelimang cahaya, atau di beranda dengan kanopi sulur anggur yang selalu kau suka, satu yang harus kau tahu: aku mencintaimu sampai hanya air mata yang dapat kuciumi.

Di pelukanmu akan selalu kautemukan doa-doa, dan jangan sekali-kali kautanyakan siapa pengirimnya. Sudah kupinta Tuhan untuk tutup mulut, maka sampai ke ujung dunia pun kau takkan dibagi tahu jawabannya. Tapi buat apa repot-repot, jauh-jauh ke sana, kalau pada kenyataannya jarak di antara kita hanya berupa sederet angka, tut-tut mekanis senada, dan pulsa seharga Sabana?

Aku berharap hidupmu—ketika dengan atau tanpa aku—selalu dihujani kebahagiaan dan kering dari rasa gelisah. Karena yang satu membuat makanmu enak (meski kau selalu bilang setiap makanan yang kau makan enak, bahkan roti bakar yang lama lupa kuangkat), lainnya membuat berakmu tak nikmat (dan demi segala yang sabar, kau sungguh sangat menyebalkan ketika sembelit). Selalu dua hal itu. Yang pertama dan paling utama lahir dari bibirku. Lalu berturut-turut kesehatan, rejeki yang melimpah, disayangi orang-orang yang kausayang, semakin rajin ibadahmu, karir cerlang-cemerlang, dan sebagainya, dan sebagainya, dan segalanya yang baik.

Lalu kau pernah bertanya apakah aku pernah meminta Tuhan untuk membuatmu semakin cinta kepadaku, semakin sayang. Aku diam saja waktu itu, menertawakan kebodohanmu, kebodohanku, kebodohan kita. Kubiarkan pertanyaanmu mengambang di udara, sekejap kemudian menguap, lenyap entah ke mana. Kemudian kusuruh kau menghabiskan bakso malang yang tinggal pangsitnya saja.

Bakal panjang kalau kujelas-jelaskan saat itu, sedang film kita setengah jam lagi akan dimulai. Aku takkan pernah mau mencari-cari bangku yang mana di tengah gulita. Tapi sekarang aku punya waktu selamanya untuk menjawab pertanyaanmu, sedang kau memiliki lebih dari selamanya untuk mengerti dan memahami.

Dan aku telah lama ingin menjawab 'tidak' pada pertanyaan yang satu itu. Aku tidak pernah berdoa agar kau semakin cinta.

Biarlah perasaanmu menjadi urusanmu dan hanya urusanmu. Tak payah membawa-bawa Tuhan dalam kita. Dia terlalu akbar, serba, segala. Dan aku tak ingin sesiapapun menggerecoki apa yang ada di dalam hatimu. Kau cinta atau tidak cinta, sayang atau tidak sayang, adalah semurni-murninya kamu.

Lebih jauh lagi, aku ingin kau mempunyai sesuatu yang tak mudah dibolak-balikkan, bahkan oleh kuasa Yang Mahakuasa sekalipun. Pada akhirnya nanti, aku lega kalau tidak ada Tuhan yang perlu disalahkan. Aku ingin perasaanmu adalah sejernih-jernihnya perasaan. Aku ingin yang kautawarkan padaku adalah sekuat-kuatnya keinginan.

Aku mencintaimu sampai hanya air mata yang bisa kuciumi.

Betapa bahagianya diriku empat bulan terakhir. Memilikimu adalah tergapainya kewarasan yang aku tak pernah tahu pernah tak ada. Senyummu adalah obat gila yang membuat segalanya masuk kepala. Dan bibirmu... bibirmu... alahai bibirmu...

Namun, sedari kecil kita sudah diajarkan untuk selalu was-was terhadap rasa bahagia. Ma mengajarkanku untuk selalu was-was terhadap rasa bahagia. Sekuat-kuatnya imanku kepadamu, masih saja ada lubang-lubang kecil yang selalu kausebut rasa ragu. Karena... entahlah, mungkin masa lalu yang bergulung-gulung, laksana ombak yang menghempas, sejenak pergi, dan berjanji akan menghantam pantai lebih kuat lagi, lebih dahsyat lagi.

Dan Ma, ketika badainya telah reda dan perasaannya tak seporak-poranda sebelumnya, pernah berkata kalau di dalam tubuh wanita terdapat ruangan-ruangan yang terkunci: dapur berahi, ruang tidur penuh kesumat, kamar mandi sarat apati. Suatu waktu akan hadir lelaki dengan kunci. Waktu yang lain, lelaki yang lain, akan datang membawa bom, derek, dan bola besi.

Aku mencintaimu sampai sakit rasanya meragukanmu.


Kuharap dalam pelukmu, 14 Maret

Surat-Surat yang Tak Pernah SampaiWhere stories live. Discover now