#3

11 1 0
                                    

Padahal sudah tiga jam lebih sedari telepon kau tutup, tetapi mengapa hangat tawa dan merdu suaramu masih menggema?

Jam di layar ponsel menunjukkan hampir pukul empat, dan orang-orang melakukan hal-hal yang mereka pernah bersumpah untuk tidak akan pernah melakukannya. Sebentar lagi subuh datang, dan hening yang hanya gempar sebab senandung binatang-binatang begitu khidmat didengar. Ketika kantuk tak kunjung tiba, dan betapa lelahnya hanya melihat-lihat wajahmu di layar ponsel, maka kuputuskan untuk menulis surat yang lain untukmu.

Aku harap kesehatan melekat erat pada tubuh dan perasaanmu kala kau membaca surat ini. Aku ingin kalimat-kalimat di dalamnya menambah kebahagiaanmu, lain bukan. Semisal sedang hancur itu hati, kuingin apa yang kusampaikan ini setidaknya menjadi pelipur lara, pereda duka.

Lalu, Sayang, kau percaya reinkarnasi?

Terlalu acak, konyol, dan bahkan mungkin terdengar bodoh bagimu. Agamamu dan agamaku tak mengenal hal sakral yang satu itu. Setelah mati hanya ada surga dan neraka (bahkan mungkin sama sekali tak ada apa-apa), dan ke mana kita akan berada ditentukan oleh segala laku semasa masih di dunia.

Tapi setelah merasakan beberapa bulan bersamamu, menghidu harum parfum favoritmu, segalanya terlihat masuk akal, semuanya terkesan relevan. Dari hal-hal kecil tolol, sampai perkara-perkara besar yang tak terkatakan.

Kebahagiaan yang teramat sangat ini apalagi kalau bukan karma baikku di kehidupan lalu? Mungkin dulu aku seorang nabi yang menyelamatkan suatu kaum dari seorang raja lalim. Atau bisa saja perawan suci yang terlampau mengultuskan Tuhan. Atau pejuang hak orang-orang kulit hitam. Atau penemu obat malaria. Atau, yah, setidak-tidaknya penemu bakso, deh. Karena betapa menyenangkannya melihatmu begitu bahagia ketika melahap bulatan-bulatan daging padat itu.

Bagaimana denganmu? Karma baik atau burukkah yang membuatmu sekarang bersisi-sisian denganku?

Kini kusadari kalau merinduimu membuatku lebih sering mereka-reka. Baru saja aku mengkhayalkan seperti apa kau dan aku di kehidupan yang lalu. Skenario satu; kau saudagar kaya yang membenciku karena hanya aku satu-satunya yang tak menaruh hormat kepadamu. Terang saja, kau menetapkan bunga yang begitu tinggi pada pinjaman Ma. Dan ketika semua mulai tak terkendalikan, kau merebutku darinya alih-alih utangnya kau anggap lunas. Di rumahmu yang serupa kastil, kau menyuruhku untuk melakukan hal-hal konyol; mengurutkan buku-buku di perpustakaan pribadimu sesuai warna, mengopek lelehan lilin pada besi-besi kandil, menyisik kaus-kaus kaki bolong yang 'aku sebenarnya sanggup membeli sampai seribu pasang tetapi kaus-kaus kaki itu terlalu nyaman bagiku untuk kubuang'.

Dan suatu waktu, aku menemukanmu begitu murni, jauh dari wajah keras menjengkelkan dan jubah kepongahan. Kukuliti ketakutan-ketakutanmu, kupinjamkan sedikit keberanianku, sampai akhirnya kita sama-sama jatuh dan mencinta.

Skenario dua: aku dan kau adalah teman sejak kanak-kanak. Sedari dulu kau sudah menaruh perasaan kepadaku, namun aku tak kunjung sadar. Salahmu jugalah yang tak memiliki keberanian barang secuil. Yang aku tahu dan sempurna mengerti adalah kau anak yang menyebalkan dan sering membuatku menangis.

Tentu ada saat-saatnya aku merasa kagum padamu, seperti ketika kau membelaku dari para perisak yang mengerjaiku hanya karena Ma seorang ronggeng. Lalu kala kau membuatkan mahkota dari daun dan bebungaan kemudian mengecup pipiku lekas. Atau waktu kau memutuskan merantau pergi, dan perpisahan itu adalah hal paling menyakitkan dan paling tak terkatakan seumur hidupku.

Lama baru kau kembali, sebulan sebelum pernikahanku dengan lelaki yang tak mungkin kaukenal. Lelaki yang baik dan sopan dan pandai merebut hati Ma. Di waktu yang sempit dan mendesak itu kau menjelma brengsek dengan berniat merebutku dari calon suamiku.

Kau memaksaku melihatmu tak lagi sebagai kawan masa kecil, tetapi sebagai lelaki yang mempunyai perasaan-peraasaan. Perasaan-perasaan yang tak kunjung habis digerogoti jarak dan waktu, malah semakin membengkak dan menggila. Dan lagi-lagi aku memilihmu.

Skenario yang lain: kau pun aku sepasang bunga, di planet entah di mana yang hanya ada bunga di hamparannya. Sulurku sulurmu berbelit menyatu, dalam diam menikmati hangat bebintang dan berbagi rindu. Setiap kita mempunyai cara sendiri untuk mencium dan mengecup, dan kita saling mencium dan mengecup hampir setiap saat. Di dunia itu kau dan aku dan rasa cinta tak pernah layu dan mati.

Di dunia ini, aku harap, kau dan aku dan rasa cinta yang sama takkan pernah layu dan mati.

Sudah lewat pukul empat ketika aku menyadari, untuk kesekian kalinya, kalau aku tak bisa hidup tanpamu. Azan sebentar lagi terdengar, Sayang. Kau mungkin masih terlelap, padahal ada kewajiban yang mesti kaujalani. Dan meneleponmu sekarang adalah perbuatan sia-sia—kau dan tidur berkawan begitu karib.

Kau tahu apa lagi yang sia-sia menyangkut tentangmu?

Mencari orang lain yang mencintaimu semaut aku mencintaimu.


Betapa mudahnya pukul empat bersamamu, 17 Maret

Surat-Surat yang Tak Pernah SampaiWhere stories live. Discover now