#2

17 1 1
                                    

Aku selalu berangan-angan betapa menyenangkannya memakai merah darahmu untuk menulis surat jahanam ini. Kau kugantung dengan tali di pergelangan kaki, bibirmu kubelah sampai telinga, dadamu kubuka. Dan darah mengalir menurut pada gravitasi, meninggalkan jejak merah kehitam-hitaman di leher, dagu, pipi, pelipis, ujung rambut, jatuh pada baskom besi yang kutaruh tepat di bawah tubuhmu. Kaubayangkan saja aku sebagai penyadap nira yang pernah kita sama tonton di malam yang membosankan itu, sedang tubuhmu tubuh dewi-dewi, yang dari buah-buah dadanya mengalir entah gula entah tuak yang dulu selalu kautenggak.

Begitu banyak darahmu sampai hampir penuh baskom logam itu, cukup untuk sepuluh, dua, lima, seratus lembar surat-surat benciku nanti. Kutulis dengan segenap kesumat, sembari menyusun seribu plot lain dari 'cara paling baik untuk membunuhmu'.

Pikiranku melayang lagi, mereka-reka bagaimana retih rintih terhenti pada batang tenggorokmu, dan hanya bunyi gluk-gluk samar saja yang terdengar, membuatku mendesah bergairah. Lebih jauh, jantungmu megap-megap di telapak tangan, bola mata di ujung pisau, bibirmu mencumbu bibirku. Rasanya panas, basah, karat. Rasanya mendebarkan dan menggetarkan. Saat ini, kematianmu dan hanya kematianmulah yang mampu membuat kesumat di dada lesap, lain bukan.

Kau tak akan pernah mengerti bagaimana rasanya bangun dari tidurmu dan membaui keringat orang yang paling kau benci. Bagaimana menjijikannya bau mentega yang berembus dari mulutnya kala mengucapkan selamat pagi. Betapa meloyanya ketika bibirnya di pucuk kepala, mengecup, membisikkan kata-kata cinta yang kau tahu kosong tak bermakna.

Hidup denganmu adalah neraka dunia. Entah apa yang pernah kulakukan di kehidupanku yang lalu sampai entah Tuhan entah dewa-dewa merasa aku pantas menjalani semua, memikul rasa sengsara.

Pernah teramat mencintaimu adalah sebuah kesalahan. Bertahan lebih dari empat tahun bersamamu adalah ketololan. Kalau saja aku tak perlu berpayah-payah menghiraukan apa kata Ma, sudah kutinggalkan rumah busuk ini. Kuambil hanya bajuku dan ijazah, karena aku tak sebodoh dan selemah itu untuk memulai semua dari entah-berentah.

Namun segala yang lahir dari mulut Ma adalah titah, meski berupa pasung di leher dan rantai di tungkai. Tak sekerat otot atau sebatang tulang pun yang mampu membantah, menyanggah.

Keadaan dan perasaanmu membetot hati dan kepalaku kuat-kuat. Kewarasan yang kucari-kucari hanya kudapat dari foto-foto usang, aroma-aroma yang cuma ada dalam kepala, jua surat-surat yang tak pernah diterima. Aku tak pernah merasa semenyedihkan ini. Setiap detik yang kuhabiskan bersamamu, melihat senyummu, membaui aromamu, bagaikan merelakan tubuh ini dihunjam seribu belati putih panas di setiap inci kulit. Mudah saja menjadi gila, kukira. Tapi itu perkara lain. Dan kebencian ini terlalu mengerikan, sungguh menyesakkan untuk sendiri kusimpan. Segala gelombang perasaan seakan diserap tiap-tiap tetes darah, sampai di otak mereka membisikkan kata-kata yang belakangan rasanya masuk akal untuk kulakukan.

Bunuh... bunuh... bunuh...

Aku membencimu, sangat, sampai hanya air mata yang dapat kuciumi.


Kuharap di pekuburan, 2 November

Surat-Surat yang Tak Pernah SampaiWhere stories live. Discover now