Momen Tak Terlupakan

6.6K 706 17
                                    

Halo haloooo!!

Aku akan boom update cerita lamaku. Dulunya dipublish di platform lain untuk lomba, sekarang, karena masa perjanjian untuk tayang sudah berakhir, aku mau republish di sini. Syukur-syukur ada rezeki anakku ini dapat rumah baru. Mohon dukungannya~~

Untuk yang pernah baca, silakan nostalgia. Bagi yang belum, selamat menikmati cerita double D ini.

***

Apa momen tak terlupakan lo dalam hidup?

Apakah itu berupa momen-momen penuh prestasi kayak lolos sekolah unggulan? Atau... juara kompetisi? Atau prestasi yang kayak masuk TV dan viral di medsos?

Apa momen-momen bersejarah itu berarti momen yang besar kayak wisuda? Dapet kerja dengan gaji delapan digit di usia mid-20s? Atau... menikah?

Momen tak terlupakan gue rada beda. Momen itu muncul justru pas gue nggak lagi di puncak. Nggak juga waktu gue sedang merasakan kebahagiaan.

Nggak. 

Dia munculnya justru pas gue lagi di titik terendah hidup gue. Malah kalo dipikir, momen itu adalah momen dimana gue berada di bawahnya titik terendah hidup gue. Pokoknya titik dimana gue jatoh sejatoh-jatohnya. Ngebuat gue yang tadinya utuh jadi cuma tinggal serpihan.

Dimulai dari Galang yang dateng ke rumah orang tua gue bersama orang tuanya. Dia suami gue waktu itu. Masih suami gue. Lucu nggak sih? Kita habis berantem, tapi dia kayak lagi kilas balik lamaran.

Awalnya jelas gue seneng banget karena gue pikir dia bakal ngajak baikan. Ngajak gue balik ke rumah kita lagi. Nyuruh gue udahan ngerajuk. 

Mungkin ada juga harapan dalam hati bahwa dia mau serius dengerin gue. Dia udah ngerti sama apa yang gue omongin, kenapa gue ngomel. Dia nyesel sama sikapnya ke gue selama ini.

Kacau, naif banget gue saat itu...

Kebahagiaan gue langsung lenyap tak bersisa waktu dia bilang, "Saya bersama orang tua saya ke sini, ingin menunjukkan keseriusan saya. Mohon maaf kepada keluarga Bapak... saya di sini, saat ini, bermaksud menceraikan Delisha."

...pecahlah gue saat itu juga.

Nggak usah ditanya perasaan gue waktu itu. Kayak main roller coaster tapi nggak ada seru-serunya. Gue cuma bisa bengong, bingung mikir itu beneran atau bohongan. Terus berharap kalau Galang lagi ngerjain gue. 

Kayak wahana di taman bermain aja, pura-pura ngelempar dan ngejatohin, tapi tujuannya cuma uji nyali dan buat hiburan.

Lupa gue kalo hidup nggak se-main-main itu. Hidup mah kalo mau narik ya narik aja. Nggak peduli kalo lo udah mencapai langit dengan proses yang cukup panjang. Nggak peduli berapa lama lo belajar terbang sampai setinggi itu. Kalau hidup maunya sayap lo dipatahin, ya jatoh aja. Pasrah aja lo terjun bebas dan babak belur. Kayak gue waktu percakapan itu.

Ada yang rusak di kepala dan hati gue setelah mendengar hal itu. Semua kayak program yang kena virus, rumit dan error. Gue nggak paham kenapa semua bisa berakhir seperti itu.

Gue bener-bener nggak tahu kenapa gue dicerai. Galang nggak pernah membahas keinginan dia yang satu itu ke gue. Dia juga bersikap seolah yang berlalu udah nggak dipikirin lagi.

Gue sadar kok kalo gue bukan istri yang sempurna. Gue keras kepala. Gue sering menantang Galang, nggak mau gampang nurut kalau menurut gue apa yang mau dia lakuin itu salah. Gue juga masih suka kabur-kaburan ke rumah orang tua.

Tapi Galang juga bukan suami terbaik sedunia. Dia suka nampar gue kalo kesel. Dia juga suka ngomong kasar kalo gue lagi dianggap 'nggak nurut'. Pada akhirnya, dia juga bukan laki-laki yang bisa menjaga komitmennya.

Yah, setidaknya saat bersama gue, dia nggak bisa jadi laki-laki berkomitmen. 

Bagi dia, tentu aja semuanya salah gue. Ada ketidakpuasan tentang gue yang ternyata sangat dia rasakan dan nggak bisa dia tahan ataupun komunikasikan ke gue sampai-sampai dia lebih milih kabur dari gue. Cuma gue ngerasa sedikit -- sediikiiit aja --- geli pas denger alasannya mencerai gue.

Dia bilang, alasannya mau ninggalin gue adalah karena gue nggak bisa jadi boneka penurut yang cuma boleh nganggukin kemauannya. Dia bilang gue susah diatur, susah ditindas dan susah diperbudak.

Well, dia nggak ngomong gitu sih. Dia cuma bilang, "Delisha terlalu pembangkang sebagai istri."

Tapi gue tahulah apa maksudnya. Gue emang bukan cewek yang bisa komat-kamit baca doa doang pas suami tiap malem kerjaannya nongkrong-nongkrong ama temen-temennya, terus pulang-pulang mabok. Gue juga nggak biasa nangis-nangis doang kalo tangannya mulai ngehajar gue.

Gue melawan. Tapi gue melawan karena sayang. Ternyata gue bego udah ngasih perasaan dan kepercayaan gue ke cowok kayak Galang.

Tahun 2019, gue kira kasus cerai karena istri nggak nurut kayak gini udah punah. Nggak disangka malah gue sendiri yang kena kejadian macem ini.

Seharusnya dia tahu betapa pembangkangnya gue. Dia kan pacaran dulu sama gue dua tahun sebelum nikah. Emang selama itu dia ngeliatnya gimana sih? Gue cewek yang doyan ngangguk-ngangguk? Dijahatin cuma nunduk?

Apa karena gue cinta dia, dia jadi mikir gue nggak akan mengkritisi dia?

Padahal justru karena cinta gue selalu berusaha ngingetin dia kalo menurut gue dia kelewat batas. Kalo dia nggak suka harusnya dia balik kasih gue pengertian, bukan malah minta pisah.

Dia bahkan nggak ngomong semua hal itu ke gue, padahal gue dan dia berada di ruangan yang sama saat itu. Dia memilih untuk ngomong ke Bapak gue. Kayak gue itu barang yang abis dia pinjem ke Bapak dan mau dia kembaliin karena buat dia udah nggak berguna lagi.

Gue cuma bisa diem waktu dia ngebeberin alasan dia mencerai gue. Bagi dia semua salah gue dan gue kehabisan kata-kata sampai nggak bisa membela diri gue sendiri.

Saat itu gue baru tahu, begitu rasanya ditusuk berkali-kali tapi nggak kunjung mati. Gue udah takut bernafas saking perihnya. Semua kenangan gue dan Galang muncul dari awal kita kenalan sampai saat ini.

Semua yang manis dan membuat gue yakin untuk menikahi dia, yang sempat membuat gue ingin pisah tapi mati-matian gue tahan niatan itu, semua tentang Galang terangkum cepat di kepala gue saat dia dan orang tua gue berdebat.

"Apa nggak kasihan kamu, Nak, sama anak kami??" ucap Bapak gue. Di sini air mata gue jatuh.

Haruskah keluarga gue meminta belas kasihan dari laki-laki kayak Galang? Apa serendah ini hidup gue sampe-sampe sebegitu tergantungnya sama satu cowok yang nggak bisa menghargai perjuangan gue sama sekali.

Sama sekali...

"Aku harap kita bisa pisah baik-baik, dan kamu terima keputusan ini, Del."

Cuma satu kalimat itu yang dia ucapin ke gue. Lagi-lagi gue cuma bisa diem. Gue bahkan nggak ngeliat matanya. Gue kayak berada di sana tapi nggak punya kekuatan buat ngapai-ngapain.

Semua yang udah gue bangun dengan susah payah runtuh. Lima tahun hidup gue terbuang percuma karena satu laki-laki bernama Galang.

Habis itu nggak ada lagi yang sanggup gue inget tentang diri gue. Gue nggak inget gimana momen masa sekolah gue, cinta monyet gue, masa kuliah, kerja, nikah dan jadi ibu rumah tangga... semua lenyap.

Cuma satu momen yang bertahan. Momen yang nggak bisa gue lupakan, yang membentuk identitas gue saat ini.

Momen di mana gue diputuskan sepihak untuk menjadi seorang janda.

Seatap Menetap [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang