"Kamu larinya pagian ya sekarang?"
Gue tersenyum pada sosok yang bersiap berlari. Sementara gue? Udah bercucuran keringet, hasil lari sepuluh puteran kompleks.
Karena mau ngehindarin kamu, Dhar...
"Duluan ke dalam," kata gue ke dia. Dia senyumin gue balik. Nggak ada kata-kata dari dia, cuma tatapan yang dalam ke gue. Apa ya? Semacam minta dipercaya?
Tapi Dharma telah jadi manusia yang paling nggak masuk akal beberapa hari terakhir. Walaupun tanpa orangtuanya, secara teknis dia udah meminang gue kemarin...
Gue buru-buru mandi dan siap-siap sarapan. Kali ini gue sarapan bareng Alfin, Dian dan Gisa. Saat kita udah mau selesai, Dharma dateng. Suasana ruang makan langsung tegang.
"Gisa, main sama Mbak Tum dulu ya? Mbak, tolong..." Dian buru-buru memberi instruksi kepada Mbak Tum untuk beranjak sama Gisa supaya kami berempat bisa ngomong.
"Ehem," Alfin berdeham, "jadi? Lanjut percakapan semalam nih ya?"
Mendadak moderator deh si Alfin...
Oh iya, semalam gue terpaku waktu dia tetep bersikukuh nanyain nikah. Gue akhirnya bilang kalo udah capek dan kepengen lanjut ngomong besok pagi aja.
Sekarang udah pagi dan jantung gue berdebar nggak keruan rasanya. Tapi gue mau menghadapi ini semua. Gue mau menghadapi Dharma dan semua yang nggak masuk akal tentang dia.
"Sekarang giliran kamu yang cerita tentang diri kamu," kata gue tegas. Emang urusan-urusan di usia kepala tiga nggak pernah bisa simple. Jadi cara nyeleseinnya juga harus to the point, pantang belibet.
"Hm, boleh. Sekarang giliran aku cerita ya?" tanya Dharma langsung ke gue. Gentleman banget. Dia nggak terganggu sama keberadaan Dian dan Alfin karena dia tahu kalo gue nggak nyaman berduaan aja sama dia, tapi Dharma selalu maintain kontak mata sama gue buat ngingetin berkali-kali bahwa ini urusan kami. Gue dan dia.
Gue dan Dharma.
"Aku sulung dari dua bersaudara. Adikku, Alma, perempuan. Seingetku setahun lebih tua dari kamu. Umur kamu 30 kan?" tanya Dharma. Gue ngangguk.
"Aku baru tahu kamu punya adik," berarti gue juga bakal punya adik kalo nikah sama dia. Bertahun-tahun gue jadi anak tunggal, jadi pelampiasan obsesi bokap-nyokap untuk hidup yang sempurna dan membanggakan.
Kayak apa ya rasanya punya adik?
"Dia udah nikah dan sekarang punya tiga anak."
Gue terbelalak. Tiga? Wow... keluarga besar. Bisa lancar jaya gitu produksinya ya.
"Ayahku udah meninggal setahun sebelum aku nikah. Saat ini Bundaku tinggal sama Alma, sambil bantu jagain cucu. Alma masih kerja soalnya. Tapi Alma punya Mbak buat bantuin Bunda, jadi nggak membebani Bunda dengan kepengurusan anak."
Gue menyimak semuanya. Apa yang Dharma ceritakan, apa yang dia pilih sebagai hal yang penting untuk diceritakan ke gue. Semakin ceritanya mengalir, semakin luntur gugup gue.
"Kalian kayaknya keluarga harmonis ya?" tanya gue sambil meringis. Pertanyaan macam apa itu?
"Pada dasarnya semua keluarga pasti saling menyayangi."
"Nggak juga."
"Orangtua kamu juga sayang sama kamu, Lish. Mungkin caranya aja yang nggak sesuai dengan kemauan kamu."
gue memandang ekspresi Dharma, lalu ngeluarin senyum tipis gue ke dia.
Dharma ngerti...
Yah, ada benernya juga sih nih orang. Ditambah lagi, dia malah keliatan lebih maklum sama bonyok daripada gue sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seatap Menetap [Terbit]
ChickLitDelisha, 30 tahun. Setelah lima tahun menikah, separuh jiwanya pergi untuk perempuan lain. Dharma, 34 tahun. Setelah lima tahun menikah, separuh jiwanya pergi untuk laki-laki lain. Kedua manusia bernasib serupa ini bertemu dalam kost-an baru sahabat...