"Terus lo mau gimana?"
"Cari kerja lah."
"Kantor lama lo?"
"Udah penuh. Udah lima tahun, pengganti gue di sana udah settle dan mereka juga nggak tahu kan kempuan gue masih maksimal nggak setelah lima tahun vakum."
"Untung lo anak marketing ya, di ranah apapun tetep dibutuhin."
"Yah, tetep aja sih hari gini susah dapet kerjanya. Gue kan tadinya anak bank, kalo ke ranah lain kayak tambang atau departemen store gitu pada ragu sih. Gaya dan strategi marketingnya kan beda."
Gue menyeruput kopi hitam ketiga gue hari ini dan ini bahkan belum tengah hari. Saat ini kita lagi di kafe deket rumah Dian karena gue lagi kabur dari orang tua.
Iya, gue emang hobinya kabur-kaburan. Tapi kalo nggak gue mungkin bisa tambah stres. Lagian tiap hari gue disuruh buat nyontohin Dian sama orang tua gue, ya udah nih gue ngobrol sama sumbernya langsung aja.
Ngomong-ngomong, perempuan yang duduk di depan gue dan ngeliat gue dengan tatapan khawatir dan kasihan ini yang namanya Dian.
Dian adalah ibu rumah tangga dengan satu anak paling manis sedunia bernama Gisa. Dia juga adalah sahabat yang selalu gue andelin, begitu juga gue bagi dia. Kadang kita ngerasa kalo kita selalu cuma berdua, ngelawan dunia.
Mau tahu hal lucu tentang gue dan Dian?
Dulu dia sering digunjing sebagai perawan tua. Disuruh mencontoh gue -- sahabatnya yang sudah menikah. Lalu dia menikah. Nggak lama setelah dia melahirkan, gue malah bercerai.
Tega memang omongan orang. Kini guelah yang menjadi gunjingan mereka. Status janda, apalagi janda cerai, jarang punya konotasi bagus dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik ini. Bahkan bapak dan ibu gue sekarang udah mulai ngebanding-bandingin gue sama Dian. Gue disuruh nyoba jualan lah, nyoba nawarin jasa jualan lah.
Tapi gue dan Dian nggak pernah membiarkan omongan orang mempengaruhi persahabatan kami. Kita berdua udah terlalu sering diasingkan orang karena nggak memenuhi kriteria 'cewek banget'. Kami sama-sama sering ngakak heboh kalo ketawa, sama-sama bossy, sama-sama nggak betah kalo nggak kerja. Cuma gaya kerja gue dan Dian rada beda.
Dulu gue karyawan swasta. Udah senior secara jabatan, tapi mantan gue nggak mau gue kerja.
Seharusnya gue lebih mempertahankan karir gue, tapi dulu keinginan gue untuk diterima suami dan orang lain terlalu besar sampe gue rela cabut dari kerjaan gue yang sebenernya udah bagus banget.
Akhirnya? Gue direndahin selama pernikahan. Dibilang nggak bisa apa-apa karena duit dari dia. Bahkan pas cerai gue tetap direndahin dengan dianggap gembel dan dikasih duit santunan.
He literally said that, "ini uang santunan untuk kamu."
Kesambet apa ya gue dulu mau-maunya sama dia?
Sementara Dian, dia emang lebih suka kerja sendiri. Mental Dian mirip mental entrepreneur. Kalo nggak jualan, ngurus event dan seminar, ya usaha lain. Sekarang bisnis online-nya udah jalan dua. Dian emang lebih seneng kalo power soal waktu kerja dia yang pegang. Jadi nggak mungkin dia kerja kantoran.
Banyak banget yang meragukan dia dengan caranya dulu. Banyak yang mikir kegagalan Dian waktu memulai bisnis online-nya adalah contoh untuk tidak keras kepala dalam mengikuti kemauan dan "ego"-nya. Tapi Dian milih untuk keep strong dan nyari cowok yang bisa nerima dia apa adanya.
Itulah kenapa gue selalu ngedukung dia dulu. Terlepas dari apa yang orang lihat, gue tahu dia perempuan hebat dan kelak dia bakal sukses dalam ranah apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seatap Menetap [Terbit]
ChickLitDelisha, 30 tahun. Setelah lima tahun menikah, separuh jiwanya pergi untuk perempuan lain. Dharma, 34 tahun. Setelah lima tahun menikah, separuh jiwanya pergi untuk laki-laki lain. Kedua manusia bernasib serupa ini bertemu dalam kost-an baru sahabat...