November is LovEmber

39 12 12
                                    

1 November, 2025.
13:00 WIB.

  Hari ini genap 1 tahun aku meninggalkan kota kenangan, kota kelahiranku.
Kulihat langit dari jendela kelas, mendung. Satu bulan terakhir selalu seperti ini. Hanya mendung saja tidak sampai hujan.

  Sekarang aku duduk di kelas 10. Guru sedang menerangkan pelajaran. Aku tidak memperhatikannya, masih menatap langit yang semakin lama berubah semakin gelap. Aku hanyut dalam duniaku sendiri. Hingga guru menyadari bahwa aku sedang melamun.

"Amberly, kau tidak memperhatikan pelajaran saya?" Guru itu bersulut.

Aku sedikit tersentak, melihat seisi kelas. Menjadi pusat perhatian. Aku hanya diam.

"Sepertinya dunia hayalmu menyenangkan, Amber. Bisa kau ceritakan?" pinta guru yang menyuruhku menceritakan tentang perasaan yang entah aku mengerti.

"Kau mendengarkan gurumu, 'kan, Amber?"

"Sulit," kataku pelan namun masih bisa didengar.

"Hal apa yang sulit membuatmu bercerita?" tanya sang guru semakin menyudutkan Amber.

"Kisahnya terlalu indah diceritakan, Bu," celetuk teman kelasku. Semua orang tertawa. Sungguh lelucon yang tidak lucu.

"Baiklah Amber. Kau kerjakan soal di depan."

  Aku berjalan ke depan. Mengerjakan soal-soal di layar hologram. Ya, zaman sudah modern. Semua alat, bahkan hampir semua yang di bumi tergantikan dengan alat-alat canggih. Tapi sayang sekali tidak ada alat yang mampu untuk menghapus sebuah perasaan.

Ada alat yang mampu menghapus memori. Tapi itu semua tidak gampang. Harus mendapat izin dari banyak sumber dan alasannya harus cukup masuk akal. Biasanya orang yang memakai alat itu adalah orang yang bisa dibilang gila. Hingga sekarang tidak ada lagi orang gila berkeluyuran.

  Bel pulang berbunyi. Aku berdiri, menekan tombol  gelang  pada lenganku. Sekejap kursi dan meja menghilang. Kelas ini pun demikian. Hilang tanpa hitungan detik. Seolah tenggelam pada permukaan tanah dan ditutup oleh rumput hijau.  Cukup canggih bukan?

  Aku berjalan menuju parkiran sepeda. Secanggih apa pun teknologi. Pemerintah mengharuskan semua rakyatnya untuk memakai transportasi umum atau memakai sepeda.

  Langit masih dalam keadaan mendung. Kudongakkan kepala. Memejamkan mata.  Langit mulai menangis. Butiran kecil itu mulai berjatuhan. Kunikmati setiap tetesan yang menerpa kulit wajahku.
Ketika semua orang berlarian mencari tempat teduh. Aku masih diam di atas sepeda.

Kenangan berputar di kepalaku.

"Amber! Jangan lari!" seru anak laki-laki berusia 16 tahun.

"Kejar aku, Thor." Amber berlari di bawah hujan.

"Ayolah, Thor. Ini menyenangkan. Kejar aku," seru Amber di bawah hujan.

"Awas saja jika aku menangkapmu, Amber." Thor mengejar Amber yang sudah jauh. Ia menemukan Amber sedang jongkok memeluk lutut. Diguyur hujan yang cukup deras. Thor berlari.

"Kena kau!"  Thor memeluk Amber dari belakang. Tetapi tidak bisa. Tubuh ember tidak bisa dipegang atau disentuh. Thor menggeram. Amber telah mengerjainya. Itu hanya tiruan tubuh Ember  yang berbentuk hologram.

Suara tawa dari belakang terdengar.

"Hahaha, seorang Thor tertipu oleh bocah berusia 13 tahun, sungguh tidak lucu." Amber tertawa sambil memegangi perutnya.

"Aku capek tertawa. Hahaha. Tapi itu sungguh lucu, hahaha." Amber masih tertawa bahkan suara tawanya makin mengeras.

Thor menghampirinya. Menyentil jidat bocah yang sibuk tertawa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 31, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hujan Di Awal November (One shoot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang