Künstler Monolog

6 0 0
                                    

Künstler Monolog

(Solilokui Seorang Seniman)

Seperti malam-malam sebelum, sepulang kerja tak menentu aku kembali ke gedung kos 6 lantai yangg reot. Bau pesing lorongnya selalu mampu menusuk hidung mampat sekalipun, udaranya berat, seberat mimpi-mimpi penghuninya, banyak mahasiswa, kunaiki tangga-tangganya, sampai juga di lantai 3, kubuka kamar paling ujung di lantai itu, aku pulang.

Kupenuhi ruang sempit ini dengan berbagai kertas, berisikan rancangan, gambar gedung, peta dunia kuno menempel di tembok kanan menutupi lubang yang dibuat penghuni sebelum. Sengaja kukubur diriku dalam literasi-literasi tertumpuk menimbun memiliki lautnya masing-masing, biar ruangan ini saja yang sempit.

Duduk, kembali aku duduk di kursi merah ruang berbau tinta, maklum.. kadang aku memang ceroboh. Didepanku adalah meja kayu kesayangan, diatasnya ada mesin ketik antik yang mampu mengetikan kata menjadi bait kemudian berima dan menyatu menjadi puisi, namun hari ini aku sedang tak ingin berpuisi, aku ingin bercerita menatap diri...

Aku adalah seniman, arogan bukan kau pikir? Tapi menurutku lebih arogan bagi mereka yg sudah berkarya sepenuh hati namun malu untuk mengakui karya dan dirinya sebagai seorang pencipta juga pembuat, ya aku adalah seorang seniman, seorang pencipta, pemimpi, pujangga, dan banyak diksi-diksi lain yang diperkosa untuk menggambarkan gelar tabu "seniman".

Banyak yang bilang seniman hidup dalam kesengsaraan. Mereka yang selalu resah, selalu harus gundah rasanya, selalu tajam matanya dihadapan kanvas, selalu panas tangannya bekas radang otot, selalu pusing batinya menatap langit yang monoton...,

Itu adalah persepsi yang salah, aku rasa seniman tidak harus resah hatinya.

Berkarya karena resah? Hah! Aku tertawa,

Aneh, sebuah karya itu datang dari inspirasi, bukan gundahnya hati,

Lalu kau bertanya tentang motivasi? Motivasi itu ada dalam pikir bukan resah yang diharfiahkan menjadi benda berjiwa. Jiwa adalah jiwa, jiwa adalah hati.

"Tuan bukankah itu namanya resah? Resah itu karena melihat!"

Laksana dongeng putri yang dengki, cermin disampingku berbicara,

Itu bukan resah, kujawab. Itu amarah, hati itu dibagi empat bagian, senang, sedih, marah, takut

"Anda ini bebal... bahkan saya tak mampu menerka kepala tuan."

Menerka sebuah kepala itu kehendak tuhan dan jiwa, walau kau adalah bayangku aku tak mengizinkanya,

"Ahh... lalu apa tuan ingat? Dulu tuan adalah seorang pemuda, yang selalu bermimpi!, 

selalu beli kondom, selalu gigih berbicara cita!"

Aku ingat, mana mungkin kulupa? Benih itu sudah terpupuk di masa muda dan sekarang aku sudah mulai menuainya. Kau tau apa yg kutuai?

"Apa tuan?"

Sesal, tapi sesal itu tidak buruk, jangan kau salahkan sesal, sesal adalah hal yang harus kau tuai! Semoga sesal yang kau tuai sesuai dengan apa yang kau tanam, jangan sampai kau menyesal ditanam oleh orang lain, pilihanmu harus dari dirimu, bukan orang lain yang memilihkan.

"Tuan ini bisa saja hahaha! Puitis! Itukan yang ingin tuanku ini capai?"

Kita berkata untuk enak didengarkan, maka semua orang itu sebenarnya puitis dengan caranya, seperti perbincanganku ini dengan diri, aku berkata agar kau mengerti maksudku, namun hanya mengerti maksud saja itu membosankan!

Bahkan kuburanpun kita hias untuk menghormati yang mati, hiaslah kata-katamu kasihani mulutmu...

"Bertele-tele... tuan ini hanya bertele-tele saja! Bicara ya tinggal bicara tuan!

inilah kenapa tuan ditinggalkan nyonya..."

Apa ini? Tak cukupkah hanya tuhan yang mengaturku lalu sekarang aku diatur bayang? 

Tak sudi! Aku adalah nahkoda dari jiwaku, aku adalah kapten dari takdirku!

"Tuan ini hanya kurang bersyukur... sudah cukup tuan, habiskan rokok ditanganmu dan lekaslah tidur." 

"Siapa tau? esok akan datang."

Lalu apa yang harus kunanti esok hari... mentari? Sanjungan? Peluh? Apa? Bahkan sang putri purnama yang setia menemaniku pergi entah kemana... hei bayang... hatiku bergemuruh... inikah kesepian? Inikah kehampaan? Walau seharusnya rasa puas itu ilusi, tapi sekali saja aku ingin berhenti menjadi manusia untuk bisa puas...

"Karya-karya tuan ini ada buahnya, walau gambar gedung tuan tak pernah jadi gedung berwujud, namun tulisan tangan tuan sudah dibaca khalayak."

Lalu kenapa aku selalu mengutuk diri? Kenapa aku sekolah menjadi perancang bila pada akhirnya aku jadi pujangga? Buat apa?

"Aku tidak tau, tuanlah yang tau."

Ya aku yang tau. Akulah yang perlahan membunuh diriku untuk mengurung, akulah yang menghindari sapaan mereka di kala sore, akulah yang mengutuk para lelaki berdasi itu kala gambarku mereka tolak mentah! Lalu aku menyerah.. Akulah wahai bayang... yang kemudian bicara lewat jiwa dan tulis, mulutku telah diambil oleh sang kuasa karena tak pernah kugunakan berkata baik dan tulus, wanitaku telah pergi menjadi rembulan yang selalu kulihat namun tak menatapku balik

"Tuanku selama ini sadar rupanya."

Tentu saja aku sadar! Tentu saja aku selalu marah! Namun ini adalah sesal yang kutanam... 

Aku harus menuainya, sudah cukup aku menghakimi diri, namun sekali lagi ijinkan aku menyayat diri, aku butuh si salah...

"Silahkan, baji ada didepan tuan."

Kuambil pisau cukur didepanku, kusayat lagi pergelangan penuh ibarat,

Satu... sayat... lagi... , lega ini ilusi, namun setidaknya bisa meredam jiwa,

Inilah aku yg selalu berbohong, bahkan berbohong pada diri sendiri, 

Semua akan baik-baik saja... semua akan baik-baik saja...


Finale

🎉 Kamu telah selesai membaca Künstler Monolog (Solilokui Seorang Seniman) 🎉
Künstler Monolog (Solilokui Seorang Seniman)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang