Bandung, 14 Januari 2008
Semilir angin lembut menyibakkan rambut anak lelaki itu yang tampak lepek oleh keringat, nafasnya masih memburu akibat bermain basket ketika matahari tengah memancarkan teriknya yang amat menyengat di siang hari.
Beberapa bulir keringat masih memenuhi dahi dan pelipisnya, namun tak ia hiraukan sama sekali sebab seluruh anggota tubuhnya sudah terlalu lemas untuk digerakkan. Ia menyandarkan bahunya pada sebuah pohon di pinggir lapangan, ditambah dengan semilir angin yang belum berhenti berhembus sejak tadi membuatnya memejamkan mata.
Nyaris saja terlelap sebelum suara samar langkah yang seolah tengah berlari menghampirinya membuatnya membuka matanya.
"Ririn?" Anak lelaki itupun bangkit dari duduknya, matanya menangkap sosok gadis kecil yang berlari ke arahnya. "Ngapain kesini sendirian?"
Wajah gadis kecil itu tampak sendu, matanya mulai berkaca-kaca hingga setetes air mata berhasil lolos dari pelupuk matanya.
"Kak Angga jahat sama Ririn!" Ia mendorong bahu Angga, nama anak lelaki itu, hingga termundur beberapa langkah.
"Kamu kenapa, sih, Rin?" Angga yang tak mengerti hanya berkerut kening.
Ia mendekati gadis kecil itu, alih-alih marah atas sikapnya, Angga mengulurkan tangannya dan mengusap lembut pipi anak itu untuk menghapus titik air matanya.
"Coba jelasin baik-baik. Apa yang Kakak lakuin sampe bikin Ririn nangis kayak gini?"
Mulut gadis kecil itu bungkam. Sengaja ia mengalihkan atensinya pada objek lain agar tak memandang wajah Angga selagi anak lelaki itu menatapnya penuh tanda tanya.
"Rin?"
Helaan nafas kasar terdengar dari mulut Ririn. "Kakak kenapa gak bilang sama Ririn kalo Kakak mau pindah?!"
Oh, jadi itu masalahnya. Batin Angga.
"Oh, itu." Jeda. "Kakak pindahnya minggu depan kok. Tadinya mau ngasih tahu dua hari sebelum berangkat, tapi Ririn udah tahu duluan."
"Tapi, kenapa Kak Angga pindah? Kakak udah gak mau temenan lagi sama Ririn?"
Angga menggeleng cepat sambil tersenyum. "Ya nggak lah, Rin. Bahkan dari awal, Kakak disini emang cuma sementara aja. Gak netap. Jadi.. akan ada saatnya kita bakal--"
"Tapi Ririn gak mau Kak Angga pergi!" katanya, lalu memeluk erat tubuh Angga. "Nanti siapa yang bakal pukulin anak-anak jelek itu kalau mereka ganggu Ririn lagi?"
Angga mengelus puncak kepala Ririn. Hatinya bergejolak sekarang. Memang sulit melepas orang-orang yang disayangi apalagi dengan kenyataan bahwa mereka tidak akan bisa bertemu lagi.
Ririn adalah sahabat terbaik yang sudah Angga anggap sebagai adiknya sendiri. Bahkan, bagi Angga yang sulit berinteraksi dengan orang lain dengan begitu mudahnya membuka diri hanya pada gadis kecil itu. Tentunya hal itu adalah sebuah kemajuan kecil, wajar saja orang tua Angga sampai menganggap Ririn sebagai anak kandung mereka berdua.
"Makanya, jadi perempuan itu harus kuat. Jangan lemah, jangan cengeng."
"Tapi, badan mereka besar-besar. Badan Ririn kecil." Ucapnya seraya melepas pelukan.
"Kalo gitu, Ririn harus jadi anak cerdas. Ngelawan mereka gak cuma ngandelin otot aja, tapi otak juga harus dipake."
Ririn tampak berpikir. Ia sadar, usianya yang masih genap delapan tahun mana mungkin bisa melakukan hal itu. Ia tak seperti Angga. Jika dipukuli, ia hanya diam saja dan menangis tanpa perlawanan.
Tiba-tiba, Angga memegang kedua bahunya dan merendahkan tubuhnya agar sejajar. Bibirnya tertarik ke atas, mematrikan senyuman khasnya yang tenang dan damai.