Bagian 1

22 3 0
                                    

Pernah tidak kalian merasakan pelukan hangat dan nyaman seorang ibu? Belaian kasih sayang atau suaranya yang menenangkan saat menghibur kita yang sedang sedih? Atau pernah tidak kalian merasakan bagaimana rasanya didukung oleh sang ayah? Diberi motivasi dan pelajaran berharga darinya? Atau merasakan pelukannya yang kokoh dan memberikan rasa aman di hati kita? Atau ketika mereka memberikan pelukan secara bersamaan,kalian tahu rasanya?

Yang jelas, aku pernah merasakan semua itu, limpahan kasih sayang dari keduanya selalu kudapatkan. Tapi, itu dulu. Sekali lagi kutegaskan.

Itu.

Dulu.

***
Suara itu terdengar lagi. Teriakan silih berganti dari ayah dan ibu yang saling menyalahkan, bahkan beberapa kali kudengar kata kasar keluar dari mulut keduanya. Aku tidak tahu sejak kapan mereka jadi sering bertengkar seperti itu.
“ayah, ibu” panggilku. Keduanya berbalik ke arahku. “Luna! Masuk ke kamarmu!” titah ayah, mutlak dan tak terbantahkan. Aku terisak, berlari masuk ke kamar. Sejak saat itu, suasana rumah yang bising menjadi iringan pengantar tidurku. Terkadang, di umurku yang 16 tahun ini, aku merasa jenuh dengan cekcok diantara mereka. Mataku sulit untuk terpejam, hanyut dalam rengkuhan mimpi. Namun masalah itu dengan mudah selesai, kukomsumsi pil tidur setiap malam dan aku lalu dengan mudahnya tertidur.

Satu tahun berlalu, semuanya baik-baik saja. Hingga pada suatu malam, kudengar kata pisah keluar dari mulut ibu. Aku terhenyak karenanya. Dadaku terasa sesak. Bukan. Bukan karena ibu yang ingin berpisah, namun karena ucapan ayah setelahnya yang mengiyakan keinginan ibu.

***

Hari senin, aku bersiap-siap pergi ke sekolah. Sekarang ini aku sudah kelas 2 SMA. Setelah sampai di ruang makan, kulihat ayah yang sudah duduk duluan di meja makan.

“selamat pagi,Ayah” sapaku, ia hanya membalasnya dengan anggukan. Aku tersenyum, mengambil makanan sambil mengajak ayah berbicara untuk menceriakan suasana. Namun ayah hanya menjawabnya dengan singkat, menatapku pun tidak. Tatapannya hanya fokus pada makanannya, seakan-akan makanan itu lebih penting dari diriku, anaknya sendiri. Hingga ketika ibu datang di ruang makan, ayah berdiri dari kursi, mengambil tasnya lalu pergi bekerja.
Ayah bekerja sebagai CEO di sebuah perusahaan, hal itu membuat kami hidup bergelimpangan harta. Dulu, sesibuk apapun ayah, ia akan selalu meluangkan waktu untuk keluarganya. Tapi sekarang? Tidak, bahkan senyumannya tak pernah kulihat lagi.

Sudah menjadi hal biasa jika ayah langsung pergi ketika ibu datang ke meja makan. Pergi begitu saja, tanpa sepatah kata pun yang keluar, tanpa pelukan bahkan senyuman. Ibu pun sama saja. Setiap hari, ia selalu keluar rumah, lalu kembali ke rumah di malam hari. Sedangkan yang mengurus kebutuhanku hanya pembantu di rumah.

Di sekolah, aku sosok yang ‘tidak terlihat’, tidak terlalu menarik perhatian, pendiam dan sulit bersosialisasi. Bahkan sebagian besar siswa seangkatanku masih ada yang tidak mengenaliku. Saking ‘tidak terlihat’-nya, tidak ada anak yang membullyku. Entah karena mereka tidak mau atau tidak tahu akan kehadiranku. Tapi aku mensyukuri itu. Setidaknya, aku tidak pernah dibully

Satu-satunya hal yang menjadi semangat hidupku adalah musik. Musik sangat berarti untukku. Musik menyimpan begitu banyak kenangan bahagia dengan ayah dan ibu. Saat sedih, karena tidak punya teman untuk mencurahkan kesedihanku, aku selalu melampiaskannya dengan bermain gitar. Lega? Dusta jika aku bilang tidak.

Aku bercita-cita untuk menjadi gitaris. Memukau semua orang dengan permainan hebatku dan membanggakan ayah dan ibu. Membahas itu, membuatku teringat bagaimana senyuman mereka ketika melihatku di atas panggung. Senyuman yang tak pernah kulihat lagi kulihat.

Short Story (Cerpen) : Titipan Rindu Untuk Kalian di Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang