2/30

462 63 3
                                    

Aku tidak suka rumah baruku.

Tidak, tidak. Jangan membayangkan rumah berhantu dan terkutuk seperti di film-film horor. Tempat ini sama sekali tidak seperti itu. Meski rumahku berada nyaris di ujung desa yang agak sepi, sesungguhnya tempat ini benar-benar nyaman untuk dihuni.

Masalahnya hanya satu; aku alergi pada ketinggian.

Sejak kecil, tanpa pernah kuketahui sejak kapan dan apa penyebabnya, aku selalu ketakutan setiap kali menatap tanah yang jauh dari pandanganku.

Aku tidak pernah berani menyebrangi jembatan tali di taman bermain. Tidak bisa memanjat pohon karena kedua kakiku yang gemetar begitu melihat ke bawah. Aku bahkan menangis histeris hingga memuntahkan makananku ketika pertama kali menaiki bianglala.

Aku pernah mendengar semacam istilah untuk seseorang yang memiliki fobia pada ketinggian, tetapi aku tidak bisa mengingatnya. Akan kucari tahu lain kali. Yah singkatnya, aku takut tempat tinggi.

Jika ditanya apa hubungannya semua hal itu dengan rumah yang kutinggali saat ini, sudah jelas sekali bukan? Rumah ini jauh sekali posisinya dari tanah.

Beberapa waktu lalu, ayahku yang seorang guru dipindahtugaskan dari kota ke sebuah wilayah yang posisinya sedikit terpelosok. Tentu saja kami sekeluarga harus ikut dengannya.

Di desa ini, rumah-rumah yang dibangun warga sedikit unik. Tinggi tiang rumahnya bisa mencapai beberapa meter dari permukaan tanah. Menurut yang dikatakan ibu ketika kutanyakan tentang hal itu, ternyata di desa ini banjir terjadi nyaris setiap tahun. Selain itu bangunan rumah seperti ini sudah menjadi semacam tradisi tersendiri bagi masyarakatnya.

Rumah panggung; begitulah mereka menyebutnya.

Sungguh, sejak pindah kemari aku tidak pernah berani membuka dan melihat ke luar jendela. Aku selalu menuruni tangga rumah dengan sangat perlahan jika harus pergi keluar. Bahkan terkadang, derit lantai kayu membuatku bergidik karena kupikir lantai itu bisa amblas kapan saja dan membuatku terperosok ke tanah.

Untuk seorang anak yang sebentar lagi akan masuk SMP, beberapa orang mungkin berpikir bahwa ketakutanku ini adalah hal yang sungguh konyol. Namun apa boleh buat? Aku benar-benar tidak bisa mengatasinya.

Hari ini, aku menemani adik-adikku bermain di rumah. Ibu sedang pergi belanja ke pasar bersama ayah yang mengantarkannya, sehingga tinggallah aku yang harus menjaga anak-anak ini di rumah.

Kami bermain petak umpet. Sebelumnya sama sekali tidak terjadi hal-hal yang aneh, sampai kemudian tiba saatnya aku bersembunyi. Aku memilih tempat di balik tirai ruang tamu. Sengaja memilih tempat yang mudah karena yang berjaga adalah adikku yang masih berusia enam tahun.

Jendela di balik tirai itu ternyata hanya ditutup rapat, tidak terkunci. Aku yang tidak menyadarinya dengan santai menyandarkan tubuhku pada daun jendela, dan begitu aku tersadar, tahu-tahu kurasakan tubuhku melayang di udara.

Suara debum yang keras terdengar ketika tubuhku menghantam tanah. Lima, sepuluh detik kupejamkan mataku dengan erat, akhirnya kuberanikan membuka mata ketika mendengar suara kedua adikku yang memanggil dari jendela tempatku jatuh.

Hal pertama yang dengan bodohnya melintas di kepalaku adalah, “Hei! Aku masih hidup!”

Setelah mengalaminya sendiri, dan aku bisa menguasai diriku, ternyata rumahku yang tinggi ini tidak begitu menakutkan lagi.

Ini keren! Sepertinya aku mulai bisa menguasai rasa takutku pada ketinggian.

Suara tangis adik-adikku membuatku tersadar. Aku harus segera menghampiri mereka. Namun, tepat ketika aku mencoba berdiri, saat itulah kusadari bahwa aku tidak bisa merasakan kakiku sendiri.

Perlahan, rasa takut kembali menguasaiku. Wajahku saat itu mungkin sudah berubah sepucat mayat, hingga akhirnya aku menangis keras tanpa kusadari, membuat adik-adikku di atas sana semakin panik. Tak lama kemudian kedua orang tuaku datang.

Belakangan, aku tahu ternyata kakiku hanya terkilir karena aku berusaha mendaratku saat jatuh.

Mengingat bagaimana aku menangis seperti anak kecil saat itu benar-benar sangat memalukan.

Ada beberapa hal yang kuketahui sejak kejadian itu. Bahwa ternyata aku masih takut pada ketinggian.

Dan aku memang benci rumahku.

End

Tema: Rumah Panggung

Ephemeral: 30 Daily Writing Challenge NPC 2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang