26/30

113 26 2
                                    

Akhir-akhir ini, ada sebuah mitos yang tiba-tiba populer di internet, di kota tempatku tinggal, lebih spesifiknya. Entah benar atau tidaknya, dan siapa yang memulai pertama kali, tak ada yang tahu. Namun ceritanya terus muncul di beranda hampir semua media sosial selama berminggu-minggu dan menjadi semakin viral.

"Cin! Cindy! Lihat!"

Arin, teman sebangkuku, pagi itu ia menghampiriku dengan tergesa-gesa. Gawainya berada dalam genggaman, dan aku sudah bisa menebak apa yang akan ia katakan.

"Berubah lagi, loh! Sekarang dia tersenyum!" katanya semangat sembari menyodorkan layar ponselnya ke hadapanku.

Sebuah potret gadis muda terpampang di sana dalam lukisan digital. Kulitnya secerah langsat matang. Sepasang matanya tertutup, dan bibirnya merah merona dengan senyum merekah.

"Oh, cantik ya." Aku tidak tahu harus menanggapi apa, sejujurnya aku tidak begitu tertarik dengan urban legend yang sedang viral ini.

"Ish, bukan begitu!" Arin merengut. "Pasti sudah ada korbannya lagi."

"Arin serius percaya? Jelas-jelas cuma cerita yang dibikin-bikin biar viral gitu kok?"

Walaupun aku mengatakan tidak tertarik, tentu saja aku pun tahu mitos tentang lukisan yang sudah telanjur viral ini. Di berandaku pun hampir selalu terlihat, walau tak peduli pun, akhirnya pasti tahu juga.

Warganet menyebutnya sebagai; Lukisan yang Tidak Selesai.

Awal sekali lukisan ini beredar, potret yang muncul adalah seorang gadis botak dengan ekspresi yang seolah sedang tertidur. Kulitnya seputih layar kanvasnya--tidak diwarnai. Bibirnya tanpa warna dan datar, tak tersenyum. Tak ada yang istimewa. Sampai tiba-tiba suatu hari, gambar serupa muncul, dengan rambut ikal berwarna hitam yang terlihat begitu nyata seolah rambut asli.

Hal itu diikuti munculnya sebuah kiriman seseorang yang menceritakan bahwa setelah melihat lukisan itu, gadis dalam lukisan mendatanginya pada suatu malam dan mengatakan bahwa ia menginginkan rambutnya. Keesokan harinya ketika lukisan itu kembali muncul, rambutnya mulai rontok dan tak bisa tumbuh lagi. Lantas ia menghilang tanpa kabar dan tak bisa ditemukan.

Beberapa waktu kemudian, kembali terjadi hal yang nyaris serupa. Lukisan itu kembali muncul dengan kulit yang sudah berwarna, teknik pewarnaan yang terlihat begitu nyata seolah gadis itu adalah seseorang yang hidup di balik layar ponselmu.

Dan lagi-lagi hal itu diikuti kiriman seseorang yang mengatakan bahwa gadis yang sama mendatanginya pada suatu malam, kemudian tiba-tiba di pagi hari warna kulitnya menghilang hingga ia tak bisa berada si bawah sinar matahari--ia akan terbakar dan melepuh. Seperti seorang penderita kelainan albino. Sama seperti orang sebelumnya, yang satu ini pun kemudian dikabarkan menghilang.

Lalu sekarang bibirnya?

"Biar kutebak, tak lama setelah ini pasti seseorang entah siapa akan mengatakan bahwa dia bertemu anak ini dan menjadi bisu," kataku lagi pada Arin yang benar-benar sudah menatapku dengan raut cemberut.

"Kamu harus hati-hati loh, Cin. Bisa saja kamu akan jadi korban selanjutnya," goda Arin di sela senyum usilnya kemudian.

"Katanya, orang-orang yang 'diambil' miliknya oleh gadis di lukisan ini akan menghilang dan mati. Siapa tahu Cindy jadi salah satunya? Lukisan ini kan tidak pernah selesai, korbannya akan selalu bertambah. Ada yang bilang mereka diseret ke dunia lain."

Aku hanya mengedikkan bahu tak acuh. Siapa juga yang percaya cerita bualan macam itu?

"Bukannya lebih masuk akal jika mereka dibunuh? Mungkin sebenarnya orang-orang yang katanya hilang itu, rambutnya dicabuti sebelum dibunuh, yang satunya dikuliti hidup-hidup sampai mati kehabisan darah."

Arin bergidik, menatapku dengan ekspresi ngeri yang mau tak mau membuatku terkekeh karena reaksinya.

"Fantasimu lebih menakutkan, Cin!"

"Lupakan saja. Itu hanya mitos, lagipula apanya yang 'tidak selesai'? Begitu matanya muncul, lukisan itu pasti akan selesai dan berhenti viral. Zaman sekarang 'kan yang semacam ini mudah sekali memikat orang."

Arin menatap potret di layar ponselnya dan mengedikkan bahu. "Benar sih. Haha."

Ia mematikan ponselnya dan duduk di kursi, tepat di sebelahku.

".... tapi dari mana Cindy mengambil kesimpulan kalau lukisan ini akan selesai ketika ada matanya?" Arin menatapku penasaran.

"Ya soalnya, sudah seperti itu bentuknya. Pasti selesai lah. Mau ditambah apa lagi coba? Make up ala Mimi Peri?"

Arin tertawa renyah mendengar jawabanku, dan aku sadar ternyata aku memang menyukai ekspresi temanku satu ini. Sepasang matanya menyipit manis ketika tertawa.

Hmm ... kurasa aku sudah menemukan mata yang cocok untuk gadis dalam lukisanku?

End

Tema: Seni yang tidak selesai dikerjakan.

Ephemeral: 30 Daily Writing Challenge NPC 2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang