Tara. Kalau kau tanya aku bagaimana dia orangnya, aku akan menjawab, "Nggak jelas."
Tapi aku suka dia. Gila, kan?
Aku memperhatikannya saat pelajaran, kadang aku merekam omongannya untuk kudengarkan kembali sebelum tidur, kadang aku memotret ekspresi jeleknya untuk kulihat ketika sedih. Tak ada yang tahu tentang ini, apalagi dia. Aku tak pernah membiarkan hal itu terjadi.
Dia teman sekelasku. Bisa kacau kalau ada yang tahu.
Apa yang kusuka darinya? Dia berani, mampu mengatakan hal-hal yang tidak bisa dikatakan semua orang seperti, "Pak Kepala Sekolah, mohon maaf, celana Anda melorot."
Pak Kepsek menolak disaliminya selama berbulan-bulan, tapi beliau tidak pernah lupa memakai sabuk setelahnya.
Atau, "Make up-mu jelek. Mana mungkin ada cowok yang mau nembak cewek yang dandanannya semenor itu?" Dia ditampar, tapi cewek itu mengganti gaya dandanannya menjadi lebih natural dan kudengar mereka jadian, hidup bahagia selama-lamanya.
Tara selalu membuat dirinya didengar. Tara tahu dia benar.
Atau tidak.
Aku serius dengan perkataan "Nggak jelas," tadi.
Bayangkan saja, ada cowok yang mengirim pesan begini.
Tara
Keluar, rek
Bulannya bagus
Barangkali belum sadar, itu aneh.
Jangan tanya, aku pun tidak mengerti kenapa dia mengirim pesan seperti itu di grup kelas. Apalagi dia tahu, semuanya tahu, bahwa tidak akan ada seorang pun di grup yang mau repot-repot keluar rumah untuk membuktikan omongannya.
Gemas, aku membalasnya.
Bian
Inget aja pr mu
Kali lain, dia mengirim pesan seperti itu lagi.
Tara
Bulannya lagi bagus rek, keluar rumah dong
Aku, sambil duduk menunggu pesanan martabak telur, mengernyitkan dahi. Pertanyaan yang sama kembali melintas di kepalaku. Kenapa? Buat apa?
Iky
Bcd tar
Gk pntng anjr
Diem
Dika
Jonesmu kebangetan
Gebetanmu di kelas sebelah, gak guna ngechat gituan disini
Apa benar dia melakukannya untuk cari pacar? Se-ngenes itukah dia?
"Mbak, ini martabaknya." Kalimat tersebut agak mengagetkanku. Segera kumasukkan ponsel ke dalam saku, kemudian membayar martabak tersebut dan pulang dengan motorku.
Keramaian Kota Mulia membuatku risih, jadi kupacu motor secepat yang berani kulakukan. Aku tahu ini tidak baik, apalagi dengan kendaraan lain dan gerobak-gerobak pedagang makanan di kanan-kiri. Tapi jalanan Batu Mulia cukup lebar dan aku, juga orang lain, akan baik-baik saja.
Sialnya, karena kecepatan terlalu tinggi, ditambah kendaraan-kendaraan lain di sisi kiri, aku jadi kesulitan berbelok untuk pulang. Kudapati diriku berada di bagian yang lebih sepi dari jalan utama.
Jalanannya masih lebar, tapi jauh lebih sepi dan lebih gelap dibanding yang kulewati beberapa detik lalu. Tidak banyak gerobak penjual makanan di sini, hanya ada beberapa kios dan warkop, serta puskesmas dan masjid yang terletak berseberangan.