Balas Budi

20 3 0
                                    

Agung meregangkan ototnya yang kaku setelah duduk berjam-jam di perpustakaan. "Pulang yuk! Udah hampir magrib nih," kata Agung. Suasana perpustakaan telah sepi. Hanya ada aku, Agung dan beberapa petugas perpustakaan di dalam ruangan yang sunyi ini. Dari jendela besar di sisi kananku, terlihat langit yang sudah mulai gelap. Bulan mulai bersinar menyambut malam.

"Aku masih mau belajar. Kalau kamu mau pulang duluan, pulang aja duluan. Aku bakal pulang setelah isya," balasku. Aku masih sibuk mengerjakan latihan soal.

"Nggak ah, aku males pulang sendirian. Aku sebenernya nggak keberatan nungguin kamu, tapi aku khawatir sama kamu. Habis, sepulang sekolah, kamu belajar lagi di sini sampe jam segini. Apa nggak capek?" Kecemasan terdengar dalam nada bicaranya.

"Ya jelas capek, tapi aku takut nilai ulanganku jelek lagi. Aku tuh bukan orang pinter kayak kamu. Kamu bisa dapet nilai sempurna cuma dengan belajar setengah jam, tapi aku harus belajar berjam-jam untuk dapet nilai pas-pasan," jawabku sambil tersenyum pahit. Mau tidak mau aku harus menerima kenyataan yang menyakitkan.

Aku adalah anak yang payah dalam segala hal. Aku tak pandai dalam berhitung, menghapal, berolah raga maupun seni. Sejak SD, aku hampir selalu mendapat peringkat pertama dari belakang. Tinggal kelas? Tak usah ditanya. Aku sudah mengalaminya berkali-kali. Lantaran sudah berkali-kali tinggal kelas, usiaku sekitar lima tahun lebih tua daripada teman-teman sekelasku.

Aku sering gagal bukan hanya lantaran kurangnya daya juang. Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk melakukan yang terbaik. Namun, aku tak bisa menyangkal kenyataan. Aku memang tidak seberuntung anak-anak lainnya.

Mengingat kekuranganku itu, aku hampir tak percaya aku berhasil menempuh pendidikan hingga sejauh ini. Kini, aku duduk di bangku SMA kelas XII. Bagiku, itu saja sudah merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa. Aku sempat mengira aku tidak akan lulus SMP. Untungnya, tampaknya Tuhan melihat seberapa keras aku berusaha dan memberiku hasil yang setimpal dengan usahaku.

Karena kekuranganku, aku sering menjadi korban bullying di sekolah. Aku sudah biasa dikatai bodoh, payah, tidak berguna dan tak bisa apa-apa. Meskipun sakit hati, aku tak bisa menyalahkan mereka juga, sebab aku tahu perkataan mereka tidak sepenuhnya salah. Mereka hanya mengatakan yang sesungguhnya dengan cara yang menyakitkan. Terkadang kenyataan memang menyakitkan. Aku tak bisa melakukan apa-apa selain menerimanya.

Karena kekuranganku pula, ayah dan ibuku lebih menyayangi kakakku daripada aku. Setidaknya begitulah yang kurasakan. Aku mengerti, wajar saja jika kedua orang tuaku lebih menyayangi kakakku. Aku tidak bisa membanggakan mereka seperti kakakku. Meskipun tidak menonjol secara akademis, kakakku jago bela diri dan sering memenangkan pertandingan dari tingkat sekolah hingga tingkat nasional. Koleksi pialanya terpajang rapi menghiasi rak besar di ruang tamu. Ayahku sering sekali bercerita betapa bangganya ia pada kakakku dan ibuku sering membandingkan aku dengan kakakku-tanpa menyadari kalau perkataan mereka membuat hatiku terluka.

Anak laki-laki bertubuh tinggi yang duduk di hadapanku saat ini adalah satu-satunya teman dekat yang kumiliki. Saat masalah menimpaku, hanya dialah yang bersedia meminjamkan bahunya sebagai tempat bersandar. Hanya dia yang mau memberiku kehangatan di kala semua orang bersikap dingin padaku.
Agung adalah teman sebangkuku di kelas X dan kami terus berteman sejak saat itu. Sayangnya, setelah penjurusan di kelas XI, kami sudah tidak sekelas lagi. Meski demikian, ikatan persahabatan kami masih terjalin erat.

Sebenarnya, aku dan Agung adalah dua sosok yang sangat berbeda. Ia seorang anak yang cerdas, bijaksana dan bisa diandalkan. Di samping itu, masih ada banyak lagi kelebihannya yang tak bisa kusebutkan satu per satu. Di mataku, sosoknya adalah wujud nyata dari kesempurnaan. Guru-guru memuji kecerdasannya. Anak-anak perempuan tergila-gila pada ketampanannya. Anak-anak laki-laki mengaguminya, tak terkecuali diriku. Jujur, aku bukan hanya mengaguminya, tapi juga iri padanya. Aku iri pada kecerdasannya, kekuatannya dan kehebatannya. Ia memiliki segala hal yang tak kumiliki. Aku ingin menjadi seperti dirinya. Terkadang, aku merasa Tuhan begitu tidak adil karena menciptakan manusia berbeda-beda.

Agung bukan hanya pintar, tapi juga tak pelit ilmu. Sepulang sekolah, ia sering membantuku belajar. Jika ada yang hal tak kumengerti, ia menjelaskannya padaku dengan cara yang sesederhana mungkin hingga aku paham. Tak jarang, ia harus menjelaskan hal yang sama berulang kali. Hanya dengan cara itulah aku bisa mengerti. Meski begitu, ia tak pernah kehilangan kesabaran. Aku bisa berjalan sampai sejauh ini karena Agung menuntunku selangkah demi selangkah. Tanpanya, mungkin aku takkan pernah bisa berada di posisiku saat ini.

"Kok kamu mau sih berteman sama orang kayak dia?" Pertanyaan semacam itu sudah beratus-ratus atau bahkan beribu-ribu kali didengar Agung. Aku mengerti mengapa mereka menanyakan hal seperti itu. Sebenarnya, aku sendiri heran mengapa orang yang sempurna seperti dirinya mau berteman dengan sampah tak berguna sepertiku. Aku tak habis pikir mengapa ia betah berteman dengan orang yang setiap hari membuatnya repot, orang yang setiap saat membuatnya khawatir, orang yang selalu memberinya masalah sepertiku. Apakah aku pantas disebut teman? Daripada teman, kurasa aku lebih pantas disebut sebagai benalu. Ya, benalu, makhluk yang hidup dengan memanfaatkan kebaikan makhluk lain tanpa memberikan apa pun sebagai balasan. Itulah aku.

Bunyi perut Agung yang keroncongan menyadarkanku dari lamunanku. Agung mengusap-usap perutnya yang kosong. Aku segera mengemas buku-buku dan alat tulis di meja, bersiap-siap untuk meninggalkan perpustakaan. "Lho, udah selesai belajarnya? Katanya masih mau belajar?" tanya Agung bingung.

"Udah cukup deh. Nanti aku lanjutin lagi di rumah. Sekarang kita cari makanan yuk! Kamu udah laper kan?"

"Iya sih, tapi kalau kamu masih mau belajar silakan aja. Aku masih bisa nunggu kok."

"Nanti mag kamu kambuh lho. Mending kita cepet-cepet makan. Mau makan di mana? Aku yang traktir."

"Serius?" Matanya berbinar seperti anak kecil ketika orang tuanya berjanji akan membelikannya es krim. Aku mengangguk. "Horeee, ditraktir! Kamu baik banget deh, Riz! Makasih!" ujar Agung dengan gembira. Lengannya yang kekar merangkulku.

Aku tersenyum. Sebenarnya, mentraktirnya makan sesekali itu sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kebaikan yang telah ia lakukan untukku selama ini; mengajarkan pelajaran yang tak kumengerti, menemaniku saat sepi, membelaku saat aku ditindas--tak terhitung jumlahnya kebaikan yang telah ia lakukan untukku. Setidaknya, aku ingin mentraktirnya makan malam ini. Hanya itulah yang bisa kulakukan untuk membalas budi, meskipun itu sama sekali belum cukup untuk melunasi utang budiku padanya.

Bersambung

-------------------------------------

A/N:
Dear readers,
Terima kasih sudah membaca karyaku! Semoga kalian suka ceritanya dan caraku menyampaikan ceritanya. Kalau kalian suka, please let me know biar aku tambah semangat ngelanjutinnya. Your votes and comments mean so much to me. 💕 Love you all 😊❤️

Keistimewaan yang TerpendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang