Hasil Kerja Keras

14 3 0
                                    

A/N: Halo, para pembaca! Kita berjumpa lagi. 😄 Tadinya aku sempet patah semangat karena part lalu pembacanya sedikit sekali, sampe aku sempet mikir, apa sebaiknya nggak usah dilanjutin aja ya? Tapi aku jadi semangat lagi setelah mendapat dukungan dari teman-temanku dan kalian para pembaca. 😊❤️ So, here's the second part. Selamat membaca! 📖

-------------

Hari ini, kertas ulangan matematika kami dibagikan. Aku tidak mengekspektasikan nilai yang tinggi karena aku sadar akan kemampuanku. Namun, aku yakin nilai ulanganku kali ini setidaknya lebih baik daripada nilai ulanganku sebelumnya, sebab aku telah berusaha lebih keras daripada sebelumnya.

"Rizal Mahardika," panggil Pak Doni. Aku menghampiri meja Pak Doni dengan gugup. Namun, saat melihat angka yang ditulis dengan tinta merah di bagian atas kertas ulanganku, aku melonjak kegirangan.

"YESSS!!!" teriakku senang tanpa memedulikan teman-teman sekelasku yang menatapku seperti melihat orang gila.

"Kamu sudah berusaha keras ya," kata Pak Doni sambil tersenyum. Dari senyumnya, ia tampak turut bangga atas hasil kerja kerasku.

Usaha kerasku dalam persiapan ulangan tidak sia-sia. Pada ulangan sebelumya, aku mendapat nilai 25. Kali ini, aku berhasil meraih nilai 60. Mungkin, itu bukan angka yang membanggakan bagi kebanyakan orang. Namun, bagiku yang biasanya mendapat nilai dalam kisaran 20 sampai 40, mendapat nilai 60 untuk ulangan matematika sudah merupakan suatu keajaiban. Aku telah mengalami peningkatan yang signifikan.

Saat jam istirahat, Agung berkunjung ke kelasku. Ketika melihatnya muncul dari balik pintu, aku langsung berlari ke arahnya sambil memanggil namanya dengan penuh semangat.

"Kenapa?" tanya Agung.

"Nih, lihat sendiri!" Aku menunjukkan kertas ulanganku yang sudah agak lecek karena kupegangi terus saking senangnya.

"Wah, selamat ya!" ucap Agung seraya menepuk bahuku dengan tenaga yang cukup keras. Ia tersenyum lebar, menunjukkan bahwa ia ikut senang atas keberhasilanku.

"Iya, aku seneng banget. Baru kali ini aku nggak perlu ikut remedial matematika," kataku, "Makasih ya udah ngajarin aku. Berkat kamu, aku bisa lulus!" Tentu saja aku tidak lupa bahwa aku tidak akan bisa meraih hasil yang kudapat sekarang tanpa bantuan sahabatku itu.

"Nggak kok. Meskipun aku ngajarin kamu, sebetulnya yang berusaha paling keras itu kamu sendiri. Aku nyaksiin kamu belajar siang malam. Aku tahu seberapa keras kamu berusaha dan inilah hasilnya. Kamu pantas mendapatkannya," kata Agung dengan suaranya yang lembut.

Tiba-tiba, Moli, anak perempuan berambut keriting yang duduk di belakang kami berbisik pada teman sebangkunya, "Halah, dapet 60 aja udah bangga."

"Iya. Gue yang dapet 90 aja biasa aja," kata Tina. Meskipun mereka berbisik-bisik, aku bisa mendengar perkataan mereka dengan cukup jelas. Mungkin mereka memang sengaja membuat bisikan mereka terdengar oleh telingaku.

Agung menoleh ke belakang. Ia memandang Moli dan Tina dengan tajam, lalu bangkit dari kursinya. "Heh, kalau kalian nggak tahu seberapa besar usaha dia belajar demi ulangan ini, mendingan diem aja deh! Dia lebih pantas bangga daripada orang yang dapet 90 dengan cara curang!" seru Agung membelaku. Meskipun yang disindir anak-anak perempuan itu adalah aku, Agung terlihat lebih kesal daripada aku sendiri.

"Lo nggak usah nyindir gue dong!" ujar Tina kesal. Air mukanya terlihat seperti maling yang tertangkap mencuri.

"Siapa yang nyindir kamu? Aku nggak nyindir siapa-siapa. Inti dari perkataanku adalah: nilai yang pas-pasan tapi didapat dengan hasil usaha sendiri lebih patut dihargai daripada nilai yang tinggi tapi didapat dengan cara curang. Kalau nilai bagusmu itu nggak kamu dapat dengan cara curang, kamu nggak perlu merasa tersindir dong. Kalau kamu merasa tersindir, berarti kamu melakukan kecurangan. Bener nggak?" kata Agung dengan senyum yang menunjukkan rasa kemenangan.

"Udah ah, males gue ngomong sama orang sok bijak kayak dia ini. Kita pergi aja yuk," kata Tina kepada Moli. Mereka pun pergi meninggalkan ruang kelas sambil menundukkan wajah menahan rasa malu. Agung tertawa puas sembari menyaksikan kedua anak perempuan itu pergi dengan kepala tertunduk.

"Makasih ya udah ngebelain aku," ucapku kepada Agung. Lagi-lagi aku dibantu olehnya. Utang budiku padanya semakin banyak saja.

"Memang itu yang sepantasnya kulakuin. Aku nggak bisa ngebiarin mereka ngerendahin kamu, sebab aku tahu seberapa keras kamu berusaha. Bagaimana pun hasilnya, usaha keras itu patut dihargai." Agung tersenyum sambil menatapku dengan penuh perhatian. Aku pun balas tersenyum. Aku senang sekali ada orang yang menghargai usahaku. Meskipun orang tuaku, saudaraku dan kebanyakan orang di sekelilingku kurang menghargai usahaku, aku tahu masih ada orang yang selalu menghargai perjuanganku, seperti Agung dan Pak Doni. Bagiku, itu saja sudah cukup untuk membuatku merasa dihargai.

Bersambung

---------

A/N: Part 2 ini singkat banget, tapi kuharap kalian suka. Kalau kalian suka, kasih tahu aku ya. 😄 Tapi kalau kalian kurang suka, kasih tahu aku juga supaya aku bisa memperbaiki apa yang kurang. 😊 Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca. Oh ya, vote dan komentar kalian juga sangat berarti buatku. 💕

Keistimewaan yang TerpendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang