Book 01: Blade on my hand, blood on my mind.

16 2 0
                                    


     "Cantores... Hei kamu... Bangun...!" Seseorang berusaha membangunkanku dari lelap tidurku. Ah, padahal aku ingin lebih lama tidur. "Hmm..? Memang sudah pagi ya? Perasaan masih malam..." ucapku dengan malas. "Mau sampai kapan tidur, hah?" ucap seseorang yang sudah kukenal sejak aku kecil. Yap, dia adalah Khal-eef, tetua suku Hasna kami. "Iya maaf-maaf kek, hehe..." ucapku sambil berusaha untuk duduk. "Jadi hari ini kita akan apa?" tanyaku pada Khal-eef. "Kita akan berburu di hutan dalam!"

"Berburu lagi?!" jawabku kaget.

"Betul! Aku akan melatihmu sampai benar-benar bisa!" ucapnya antusias

"Ampun, kalau begitu aku tidur lagi saja lah..." ucapku sambil menarik kembali selimutku"

"HEI BANGUUUN!" teriak Khal-eef sambil menyerangku. Tubuhnya bisa dibilang sudah tua namun semangatnya dan kekuatannya seperti kadal yang kulitnya terlihat tua tapi punya kelincahan yang cepat. Lalu mau tidak mau aku haru bangun dan mempersiapkan diri untuk berburu. Haah... Kukira hari ini aku bisa tidak melakukan apa pun sambil menikmati pisang dan buah-buahan lainnya di tebing bersama teman-temanku.

"Cantores, kamu tahu kenapa aku memintamu untuk latihan berburu?" tanya Khal-eef

"Haah... selalu dengan pertanyaan yang sama..." ucapku sambil menggerutu kecil"

"Apa? Aku tak mendengarmu dengan jelas?" ucap Khal-eef yang sedikit menggodaku, cukup membuatku muak di pagi hari.

"Cih... haaah... Agar aku bisa mandiri dan fokus pada tujuan tertentu yang sudah kupilih." Ucapku sedikit kesal.

"Nah benar begitu, ksatria kebanggaan suku Hasna!" ucap Khal-eef sambil menepuk bahuku. Cukup kuat untuk orang seperti Khal-eef yang seperti kadal— aku mungkin akan dapat hukuman lagi ketika aku bicara seperti itu.

Orang-orang memanggilku Cantores. Ya, bukan nama yang bagus dan unik didengar orang lain. Nama yang diberikan oleh seseorang saat aku masih bayi— bahkan sampai sekarang aku tak tahu siapa nama ibu dan ayahku. Khal-eef adalah orang yang pertama kali aku kenal. Beliau adalah orang yang mengajariku mengetahui banyak hal terutama dalam berburu dan menggunakan senjata. Banyak orang bilang Khal-eef adalah orang sakti yang memiliki banyak ilmu sihir, juga ada yang bilang kalau Khal-eef adalah manusia setengah dewa. Ah... aku tak peduli dengan hal itu, mungkin mereka berpikir kalau aku bisa seperti Khal-eef. Namun tidak, aku hanya sekedar jadi penumpang dan murid kecilnya Khal-eef. Namun karena dia juga sih yang membuatku seperti ini.

"Cantores, siapkan busur dan panahmu. Kita akan tembak kelinci itu." Suruh Khal-eef. Lalu aku siapkan apa yang diminta Khal-eef. "Bidik dan tembak kelinci itu tepat di kepalanya." Ucap Khal-eed. Lalu aku melakukan apa yang diminta Khal-eef. Busur tertarik olehku dengan panahnya, kubidik pada kepalanya, kulepaskan tali busurnya dan... Seperti biasa aku menebaknya pada bagian leher. "Haah, bagaimana kamu ini, Cantores? Bagaimana ingin jadi pemanah dan pemburu handal jika kamu masih belum fokus?" tegur Khal-eef padaku. "Tapi, aku sudah benar lho. Tak ada kesalahan!" ucapku. "Tapi lihat kondisinya, kamu menembak terus di bagian leher." Ucapnya padaku. "Lalu apa salahku? Mengikutimu untuk berburu hanya karena ini?!" ucapku dengan nada yang sedikit tinggi. "Cantores,ini adalah hal pertama kamu dalam hidup. Jika kamu gak mau melanjutkan dan meneruskan, maka apa kata ayahmu?" ucap Khal-eef. Di situ aku sama sekali tidak berkutik, sepi dan hening hanya ada suara angin berhembus dan suara gesekan daun. "B-baikah kalau maumu begitu." Aku mulai kembali. Namun aku merasakan adanya hawa-hawa panas dan bau kebakaran di bagian Selatan. Aku mulai berlari dan meninggalkan Khal-eef disana.

"Cantores! Mau kemana kamu?!" teriak Khal-eef

"Ada urusan mendadak! Maaf!" jawabku sambil berlari menuju tempat kejadian. Disana aku melihat banyak penduduk yang saling bertarung satu sama lain, ada yang dari suku ku sendiri ada juga mereka yang berpakaian seperti orang yang berpunya. Beda jauh, mereka yang berpakaian bagus itu menggunakan musket dan pedang, sedangkan yang dari suku ku hanya dengan pedang, tombak, tomahawk, perisai, dan panah. Aku merasa kalau aku harus mengikuti pertempuran itu karena menyangkut tanah air tempat aku tinggal. DUKKK! Aku tersenggol oleh seseorang, dia berambut pirang yang pendek, matanya hijau tosca cerah, dan pastinya dia perempuan— tidak, lebih tepatnya dia gadis. Aku dan dia sempat saling bertatap muka, cukup lama sehingga aku terkena benturan dari kayu yang patah akibat lemparan dari prajurit. Pandanganku kabur dan sosok gadis yang berada dihadapanku mulai menghilang. Aku berusaha berdiri dan kembali menyadarkan diriku, tak sempat sedetik, aku sudah mulai menarik pedang yang ada di bahuku. Sebagai seorang Hunter— Peringkat dalam suku Hasna, yang berarti pemburu— aku mengeluarkan kemampuan yang tak semua orang miliki. Roaring Howl, itu kemampuan tertinggi seorang Hunter, menjadi seliar serigala dan sekuat singa. Aku menebas semua musuh yang ada, aku sudah tak peduli dengan luka tembak ditubuhku, luka sabetan pedang di lenganku, dan ledakan yang tiba-tiba.

Burning Eagle | Book 01: Blade on my hand, Blood on my mindWhere stories live. Discover now