Temu Pisah Untuk Tuju

47 3 0
                                    

Suara mendengung di telinga. Berat kelopakku untuk membuka. Hidungku terasa ada yang mengganjal sehingga sesak kurasa.

Sakit kepala yang luar biasa baru kali ini kurasakan. Kedua kaki dan tanganku yang sukar kugerakkan. "Apa aku sudah mati? Sungguh aku tak bisa lagi merasakan tubuhku." benakku berbisik lirih.

Kemudian samar-samar kudengar suara bising klakson ditambah seperti ada beberapa orang yang mendekatiku. Riuh kepanikan juga mampu kurasakan. Hingga akhirnya, aku benar-benar tak sadarkan lagi.

"Gelap, sungguh aku sudah membuka mata. Tapi mengapa tetap saja gelap? Dimana aku?"

"Zafni, kau sudah lakukan hal yang benar. Zafni, kau benar. Kau lakukan yang benar, Zaf.." berkali-kali kudengarkan suara lirih seorang wanita yang begitu lembut dan mampu menyejukkan lara seolah memberiku semangat akan kegagalanku dalam menggapai cintaku.

"Kamu siapa? Mengapa kamu tahu namaku?" Aku berlari dalam gelap mencari sumber suara. Suara itu muncul lagi dengan memanggil namaku berulang-ulang dan meminta maaf padaku. Semakin lama, semakin jelas kudengar dan semakin kumengenal suara itu.

Kulihat cahaya, dan kudekati. Cahayanya semakin benderang dan samar-samar tampak sabana luas dengan wanita cantik bergaun putih, bertubuh elok dengan rambut panjang terurai berdiri di pusat sabana. Parasnya bersinar, tersenyum padaku kemudian berkata "Kamu baik, dia tidak pantas untukmu." katanya. Jelas, aku mengenalnya. Dia adalah Deananta.

 ∵ ∵ ∵

Pagi ini begitu cerah, seolah sang langit sedang menatapku bangga atas keberhasilanku. Upacara bendera di hari senin kali ini terasa sangat berbeda, seolah semua orang menatapku tersenyum atas sebuah prestasi terbesarku selama sekolah di sini.

"Selamat pagi semua" pembuka kalimat yang berhasil menggetarkan kedua kakiku juga jemariku. Kemenanganku pada lomba melukis tingkat SMA se-Indonesia pekan lalu, mengharuskanku berdiri di atas mimbar upacara hari ini dan di hadapan ratusan siswa-siswi lainnya.

Ada satu pasang mata tajam dan bibir manis tersenyum padaku dari kejauhan. Lalu kubaca bibirnya itu terucap "Ayo, kamu bisa". Akupun membalas senyumnya.

Seketika lidahku melenturkan tubuhnya, kaki dan jemari tanganku kembali tenang lalu bergerak sesuai arahanku, gemuruh di dadaku luluh. Akupun berhasil menyelesaikan pidatoku. Semua bertepuk tangan dan beberapa guru ada yang menyalami keberhasilanku. Sungguh bahagianya aku.

Pemimpin upacara dengan lantang membubarkan seluruh peserta upacara. Deny dan Farid mendekat. Deny merangkul pundakku, sambil berkata "Tadi kayaknya ada yang senyam-senyum sendiri sebelum pidato, kenapa tuh ? ciye" "sssttt ... tuh liat ada cabai di gigimu" balasku. Aku dan Farid tertawa sambil berlari meninggalkan Deny yang tengah sibuk dengan giginya.

Pagi ini dia semakin elok saja parasnya kupandang. Ditambah dengan ikat rambut ungunya yang membuatnya terlihat semakin menarik. Tatapanku tenggelam di kedua bola matanya. Bagian yang paling kukagumi darinya. Setiap pandangan kita bertemu, selalu berhasil membuatku kikuk. Deananta. Memang dia idaman banyak siswa di sekolah. Tak rugi sama sekali aku di kelas yang sama dengannya.

Sejak lama api ini membara untuknya. Api yang membawaku pergi ke sekolah dengan begitu semangatnya. Setiap berangkat ke sekolah, selalu kulewati depan rumahnya yang baru saja kuketahui minggu lalu. Tepat setelah aku dan dirinya resmi menyandang status sepasang kekasih yang mencoba menuai kisah-kasih di sekolah. Pacaran. Ya, itu intinya.

Yap! Aku jadi satu-satunya pemenang dari banyak laki-laki yang pernah mencoba mencuri hati dan pandangannya Dea. Tak kusangka jua mengapa aku juaranya. Katanya, aku berbeda, unik, aneh, dan sulit ditebak.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 11, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Temu Pisah Untuk TujuWhere stories live. Discover now