PPKN

19 1 0
                                    

Oh, aku ingat sekali dengan yang ini. Terjadi setahun lalu, tidak tepat setahun lalu. Tapi setahun lalu. Iya. Begitu.

Waktu itu sedang belajar PPKN. Sebenarnya Bu Ayi, guru PPKN, memberi pekerjaan rumah minggu lalu. Tapi saat hari itu tugasnya ditagih, tidak satupun yang mengumpulkan. Tidak satupun yang mengerjakan. Alhasil, semua dihukum berdiri.

Peraturannya tidak ada yang boleh duduk sebelum berhasil menjawab pertanyaan yang diberikan oleh Bu Ayi.

Aku dengannya saling lirik satu sama lain. Walau posisi bangku kami berjauhan, sama sekali tidak menghambat interaksi kita. Hanya— yah, aku agak sedikit sulit membaca gerakan mulutnya. Kita membantu satu sama lain, memecahkan jawaban. Nihil. Otakku buntu, sama juga dengannya. Kalau saja boleh mencari jawabannya di buku, mudah saja menjawabnya.

Ada satu pertanyaan yang jawabannya aku tahu. Tapi aku ragu, takut jika jawabannya salah. Aku dengannya saling tatap. Lalu aku mengucapkan jawaban yang aku ragukan itu. Ia mengerti dengan gerakan mulutku. Lantas mengucapkannya dengan lantang.

Benar! Jawabannya benar! Tapi sialnya, mengapa tidak kukatakan saja tadi? Ah, sudahlah. Tidak apa.

Ia melihat ke arahku, tertawa puas, lalu tersenyum. Aku pura pura memasang wajah kecut di depannya. Pura pura sebal. Hahaha. Tentu saja. Butuh tenaga yang lumayan untuk menahan kedua ujung bibir ku membentuk sebuah lengkungan.

Masih ada sekitar sepuluh murid yang berdiri. Aku menoleh kearahnya setiap Bu Ayi menyelesaikan kalimatnya yang berupa soal. Ia sudah duduk, otomatis bisa membuka buku. Kadang aku masih saja kesulitan membaca gerakan mulutnya. Membuat ia tertawa sambil menggelengkan kepalanya. Lalu setelahnya aku ikut tertawa.

Sampai pada akhirnya Bu Ayi membacakan soal yang ia tahu jawabannya. Tepat setelah aku menoleh kearahnya, ia langsung mengucapkan jawabannya. Lagi-lagi, aku agak kesulitan membaca gerakan mulutnya.
Ia harus mengucapkan lima kali lebih untuk aku mengerti apa yang sedang mulutnya katakan.

"Oh, bu, bu, bu! Saya tau jawabannya!"

Benar! Jawaban yang ia berikan benar! Akhirnya aku duduk, lalu melirik ke arahnya. Tersenyum sambil mengacungkan jempol. Tanda terima kasih. Ia balas mengacungkan jempol. Tidak lupa untuk tersenyum.

Sungguh, ingin rasanya aku berkata kepadanya,

Tolong, aku mohon, jangan tersenyum seperti itu. Apalagi kepadaku. Kau ini, sengaja mau buat aku pingsan atau bagaimana?! hah?!

- e u p h o r i a -Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang