Surat Untuk Seorang Syarifah

12 0 0
                                    

2013

Assalamu'alaikum, kamu.

Semoga angin menyampaikan salamku padamu wahai wanita yang indah sorot matanya–lugu sikapnya–yang menyebabkan disenangi kawan-kawannya.

Aku tak begitu ingat awal pertemuanku denganmu. Yang kuingat, kita bertemu di tempat latihan ekskul Rohani Islam sekolah. Tanpa memperkenalkan diri, kau sudah tahu namaku dan aku pun tahu namamu dari kawan yang memanggilmu untuk segera ikut latihan karena kau sudah terlambat saat itu.

~

Kita pun mulai berkenalan, lalu bertukar kontak yang ujungnya saling berbalas pesan. Tentu saja, akulah yang paling rutin menyapamu juga menanyaimu apapun perihal tentangmu. Apa yang kau suka, apa saja kegiatanmu, sampai hal-hal yang terdengar tidak begitu penting pun aku ingin tahu–asal itu mengenai tentang dirimu.

Lambat laun, ada yang tumbuh dalam hatiku, entah apa itu. Mungkin saja sebuah rasa, yang tak akan pernah bisa diwakili oleh kata-kata.

~

Hari-hari di sekolah tanpa melihatmu, sungguh membuat hati terasa gundah. Apakah ini yang dinamakan rindu? Jujur, aku tak suka pada rindu bila ternyata seperti itu caranya bekerja, membuat gundah saja.

Aku pernah mendapatimu tengah tersipu malu setelah aku tak sengaja memandangimu. Kau tersenyum, memamerkan senyum termanis yang menghiasi wajahmu. Aku hanya mampu menerka jadinya, apa kau juga rasakan hal yang sama? Entah, aku tidak mau terburu-buru menyimpulkan hal itu.

Aku pun pernah mendapatimu menangis tersedu selepas kau melihatku tengah bergurau di lorong depan kelasmu bersama kawan perempuan yang kau juga kenal dengannya. Aku coba menghampirimu ke dalam kelas–walau ternyata tiba-tiba kau muncul dari ambang pintu sebelum aku masuk ke dalam kelasmu. Aku tanya kenapa, "tidak kenapa-napa" jawabmu sembari menutupi air mukamu. Apa di hatimu timbul cemburu? Jika benar, apakah itu artinya kau punya rasa yang serupa denganku? Lagi-lagi aku belum mau menyimpulkan hal itu.

~

Hari terus berlalu, hingga aku pun jenuh hanya mampu menerka apa yang kau rasa. Sampai suatu hari, aku mantapkan diri untuk menyatakan rasa ini dan memastikan rasa yang mungkin kaumiliki.

Rencananya, akan aku hampiri dirimu sepulang sekolah nanti–tepatnya sebelum kau ikuti kegiatan ekskul yang kau tergabung di dalamnya.

Belum sampai menuju depan kelasmu, kau keluar dari ruang ekskul itu dengan sumringah–disusul oleh sesosok lelaki jangkung beralis tebal yang cukup aku kenal. Kudengar dari kawan dekatmu beberapa waktu lalu bahwa dia–lelaki jangkung beralis tebal itu, pernah menjadi seseorang yang berarti bagimu dan pernah membuatmu menangis atas keputusannya menjauh darimu.

Ah, aku baru ingat. Pertama kali aku melihatmu itu ketika kau duduk bersedih di dekat pintu ruang ekskul-mu. Dan aku pun tahu sebabnya setelah beberapa waktu bertanya pada kawan dekatmu.

Biar kutebak apa maksud dari adegan dan seberkas senyuman di wajahmu yang barusan aku saksikan. Kau diajaknya kembali menyambung cerita yang sempat dia hentikan. Dan tak perlu kautebak apa yang aku lakukan setelah mengetahui hal itu. Ya, aku membatalkan untuk mengungkapkan rasa ini dan memutuskan berhenti untuk mengenalmu lebih jauh lagi.


Lima tahun kemudian

Belakangan ini, aku sering melihat unggahan cerita berupa foto di salah satu akun media sosialmu yang melintas di halaman media sosialku walau hanya sepintas. Kuamati kini jilbabmu makin panjang juga lebar–hingga makin menutupi yang memang sepantasnya tertutupi. Mata indahmu yang dulu pernah kupandangi dalam-dalam, kini tak berani aku curi pandangnya meski secara diam-diam. Ya, karena aku baru tahu sesuatu mengenai dirimu.


Satu tahun lalu

Entah kenapa, dulu kau tidak mau aku memanggilmu "Syarifah". "Pakai panggilan seperti kawan-kawanku yang lain pakai untuk memanggilku saja" katamu lewat pesan singkat. Aku menuruti walaupun ujungnya berbuah tanya.

~

Aku terkejut ketika mengetahui bahwa "Syarifah" adalah panggilan bagi wanita dzurriyah atau keturunan langsung dari seorang manusia mulia. Salah satu marganya yakni "Al-Hinduan" yang kini masih kuingat bahwa nama tersebut tersanding tepat di belakang namamu.

Terjawab sudah rasa penasaran yang pernah bergelayut di kepalaku.


2018

Mengembalikan ingatan tentangmu, memunculkan kembali rasa dalam hatiku yang dulu tertuju padamu, mungkin adalah hal yang mudah bagiku.

Menyatakan dan membuatmu yakin dengan rasa itu, kali ini mungkin aku tak akan kesulitan.

Namun, mengharapkan dirimu bersanding denganku, adalah sebuah ketidakmungkinan.

Bukan, bukan aku pesimis. Justru aku sungguh realistis. Karena jika bukan realistis, sikap apa lagi yang harus aku ambil untuk menyelamatkan hatiku dari pengharapan terhadapmu?

Terima kasih. Sudah mau mengenalku, sudah membagi senyum dan tawamu padaku.


Terima kasih juga sudah membuatku pernah mengecap rasa rindu.


Aku bersyukur pernah mengenalmu, menyimpan rasa di dada yang beralamatkan padamu.


Walau aku tahu, pada kenyataannya, kisah antara aku dan kamu hanyalah sebatas kata "hampir" saja.

Kita BerkisahWhere stories live. Discover now