Setelah kepergianmu di akhir musim hujan kala itu, sesekali aku hampiri tempat biasa kita melebur menyatukan rindu–demi memastikan–akankah lebat hujan atau teriknya sinar matahari kemarau mampu menghapus keberadaan jejak pun bayangmu di sana. Dan ternyata tidak, masih sama, jejak dan bayangmu itu abadi dalam ingatan serta semestaku.
Halte tempat berteduh di kala hujan, perpustakaan umum tempat kita meminjam buku dan berdiskusi, sampai gang depan rumahmu–tempat kita berjumpa untuk terakhir kalinya yang saat itu diiringi oleh sendunya hujan di malam hari–selalu menjadi tempat favoritku untuk mengenangmu dan meresapi rindu yang masih menggebu dalam hatiku yang aku jamin hanya tertuju padamu.
Hujan, aku tak tahu harus aku apakan kata itu. Aku bukan pak Sapardi yang cinta terhadap hujan–hingga ia dengan mudahnya merangkai kata tentang hujan. Aku juga bukan Seno yang menulis kisah tentang Sukab yang berani-beraninya mencuri senja–yang sepotong senja itu diberikannya kepada sang kekasih lewat pos. Aku hanyalah seorang perindu, yang merindui sesosok wanita–yang kenyataannya menganggap aku–bukanlah siapa-siapanya.

YOU ARE READING
Kita Berkisah
Roman d'amourIni tentang aku dan kamu, dan kisah-kisah yang terabadikan-juga terabaikan.