Pertemuan (kembali)

8 0 0
                                    

Di pagi akhir pekan yang cerah juga hangat itu, aku yang tengah menyantap sarapan di kamarku–dibuat terkesiap oleh bunyi notifikasi pesan pribadi dari ponselku. Seingatku, tak ada yang aku ajak bicara via layanan pesan di pagi itu.

kuaktifkan ponselku, kulihat notifikasi pesannya, ternyata darimu.

"Hari ini jadi, kan?" tanyamu lewat pesan itu.

Kuingat-ingat dan mencari pesan sebelumnya. Oh iya, pagi ini kita berencana berolahraga bersama, olahraga bersama sekaligus pertemuan untuk pertama kalinya setelah berpuluh-puluh purnama tak berjumpa.

"Tentu" jawabku sigap.

Lantas aku bersiap diri, pergi menuju tempat yang sudah dijanjikan sedikit lebih pagi.

***

Sambil berjalan santai mengelilingi lapangan, sesekali kuperiksa ponsel yang kutaruh di saku celanaku untuk sekadar memastikan keberadaanmu saat ini.

"Sudah di tempat." jawabmu setelah kutanya tengah di mana dirimu lewat pesan singkat.

Aku pun menunggumu di pinggir lapangan dekat jalan yang menurut penuturanmu akan kaulalui.

Mungkin, mencari satu orang di tengah keramaian tidaklah mudah. Namun, ada hal yang aku kira dapat memudahkanku mengenali dan menemukanmu, yakni matamu.

Benar saja, di tengah keramaian aku melihat mata itu. Mata yang pernah aku tatap lekat-lekat, kusimpan dalam ingatan dan kujaga kuat-kuat.

Meski saat itu kaututupi sebagian wajahmu dengan kain penutup kepalamu itu, seperti yang sudah kuduga: matamu akan menuntunku menemukanmu.

***

Karena merasa di lapangan itu terlalu ramai, kutawari kau untuk berkeliling di pedestrian, kau mengikut.

Di pedestrian, kita berjalan beriringan. Kau bercerita ini-itu, aku mendengarkan. Tak apa, aku suka seperti itu, lebih suka mendengarkan. Karena terkadang aku kebingungan untuk memulai perbincangan.

Ternyata di pedestrian juga tak kalah ramai, dipenuhi orang-orang yang mungkin senasib dengan kita. Saking ramainya, sebagian pesepeda kehilangan haknya dan kemudian memilih bersepeda di jalan raya. Sebagian lagi tetap menuntut haknya dengan membunyikan bel manual yang ada di setang sepeda berkali-kali agar pejalan kaki mau-tidak mau untuk tidak berjalan di jalur sepeda.

Saat kulihat seorang pesepeda tidak membunyikan belnya, khawatir pesepeda itu menabrakmu juga agar pesepeda itu mendapat haknya, secara reflek kuraih lengan kananmu yang berbalut lengan baju panjang itu dan menarikmu dari jalur sepeda.

"Maaf" kataku setelah melepas genggaman tanganku dari lenganmu.

Aku menjadi canggung juga merasa bersalah telah berlaku lancang.

Seakan mengerti posisiku, kau kembali bercerita untuk mencairkan suasana.

Saat kau bercerita, diam-diam kuamati wajahmu yang sebagiannya sudah tak tertutup lagi oleh kain penutup kepalamu itu.

Matamu, senyummu, tawamu juga kulit bak pualam itu seolah-olah menyihirku dan mengempaskanku ke ingatan masa lalu. Dan saat itu pula aku mengancam sang waktu dalam khayalku "jangan kau cepat berlalu!".

***

Matahari mulai meninggi, kau pun hendak pulang. Aku menawarkan diri mengantar.

Di perjalanan pulang menuju rumahmu, kau kembali bercerita. Entah kenapa aku selalu menantikan hal itu. Yang jelas, aku selalu siap mendengarkan segala ucapanmu.

"Ayahku sempat menjodohkanku dengan lelaki pilihannya." sambung ceritamu setelah bercerita tentang kawanmu yang sudah menikah.

"Kau menerima?" tanyaku penasaran.

"Aku menolak, lagipula aku tidak kenal sama sekali dengan lelaki itu." jawabmu.

"Lalu?" tanyaku lagi.

"Ya, Ayahku mengalah. Mungkin dia merasa kalau aku ini memang belum siap untuk menikah."

Aku tidak heran, perihal menjodohkan atau dijodohkan adalah hal wajar dalam ruang lingkup keluargamu.

Hanya saja, berbicara perihal menikah, aku pun merasa sangat belum siap. Apalagi menikahimu, yang kurasa sangatlah tidak mungkin terjadi.

***

"Masih jauh?" tanyaku setelah melewati beberapa gang.

"Sebentar lagi," jawabmu, tanganmu menunjuk salah satu gang "itu gangnya."

Di depan gang, tiba-tiba kau mengulurkan tangan. Kuraih uluran tanganmu itu dan kuangkat untuk kukecup punggungnya walau kau menolak dengan halus. Sepintas kulihat sebuah cincin terlingkar di salah satu jemarimu, mungkin hanya sekadar aksesoris, pikirku.

"Terima kasih" ucapmu sembari berjalan menuju gang.

Aku membalas dengan senyuman sembari berjalan meninggalkanmu.

Sejenak aku berhenti dan menoleh ke belakang, masih kudapati sosokmu, kau tersenyum padaku. Selayaknya petualang yang hendak pergi jauh, aku berusaha untuk melukis bayang wajahmu dalam ingatanku agar suatu waktu dapat kulihat lagi wajah itu meski kau tak ada di dekatku. Kau pun menghilang, terhalang tembok kusam gang sialan itu.

***

Di perjalanan pulang, sejenak aku ingat-ingat kembali apa yang terjadi. Bingung, aku harus bergembira atau malah menyesal sejadi-jadinya karena telah berbuat hal nista. Entah.

Ternyata benar kata orang-orang perihal "rasa tak bernama", ia tidak hanya dapat membutakan mata, namun juga dapat menggoyahkan keimanan seorang hamba. Masih beruntung aku tak dibuatnya gila.

Kita BerkisahWhere stories live. Discover now