Di sudut Jakarta aku tunggu kau pulang. Dari perang yang katanya belum usai. Sedang di medan berdarah darah, kau tasbih tanpa lelah. Selipkan Al-Fatihah, sebelum habis lakon senja di ujung hari yang memerah. Lalu kita menjadi pemburu waktu. Agar mekar bunga di hatiku tak kau lewatkan lagi.
Sudah berapa musim sejak kepergianmu, Tuan?
***
Sedikit gerimis kucampur dalam secangkir kopi agar manis. Tak perlu deras, ku tak butuh yang romantis. Sambil sulam silam aksara ditambah sekelebat kenangan, jemari fasih menjahit angan, janji, dan harapan. Lebih cepat tiba dari burung burung migran. Lebih jatuh dari sekedar tetes hujan. Lebih keras dari bunyi tonggeret kala malam. Sajak lahir saat cinta terpaut jarak.
Ah, ternyata masih kau yang mahir meretas sabda dari rerimbun pohon aksaraku.....
Kusesapi kopi yang sedari tadi tersaji. Barangkali ia mampu usir sepi. Meski pekat segulita carut luka. Tapi sedikit lebih hangat dari gugur daun magnolia tua. Sedikit lebih harum dari segar arumdalu muda.
***
Arunika keempat puluh lima. Lagu itu memutar lagi hangat pelukmu. Lalu aku pura-pura tabah. Pura-pura berani menghadapi pagi yang melulu tanpa kamu.....
- Jakarta, 11 Oktober 2018 -
YOU ARE READING
Tuan & Puan : Sebuah Antologi
PoesiaKumpulan Ode tentang Tuan & Puan. Sederhananya, kau kukirimi kata kata penggugah. Bentuk waras dari keberanian yang kupupuk sejak jauh jauh hari sebelum singgah. Lalu kau hujam aku dengan kecup dan pelukan. Meniskalakan segala luka, kisah kita terta...