Sebelas

298 41 6
                                    

Karla

Aku hanya bisa mematung saat kata-kata itu meluncur dari mulut Derian. Tidak pernah kusangka dia akan memberi jawaban seperti itu untuk pertanyaanku barusan. Dari sekian kemungkinan yang kupikirkan tentang keanehan sikapnya sejak kemarin, hal ini benar-benar tidak terpikirkan olehku. Bahkan menjadi kemungkinan terakhir pun tidak.

Aku kira, semua kekesalan yang dirasakan Derian pada Gian disebabkan oleh Sesil. Karena masih tidak rela menerima kenyataan kalau pacarnya selingkuh. Atau karena merasa kalah saing, mengingat bagaimana obsesifnya cowok itu. Atau bahkan, karena kenyataan kalau selingkuhan Sesil adalah bintang kampus, dan dia jadi rendah diri.

Semua tebakan itu terus melintas di pikiranku, walau kemungkinan terakhir yang kusebutkan tadi rasanya sangat tidak mungkin. Aku yakin, Derian bukan tipe orang yang akan mudah merasa rendah diri hanya karena kenyataan kalau saingannya itu bintang kampus. Toh, tidak menjadi bintang kampus bukan berarti orang itu payah. Karena bintang kampus sama sekali bukan standar yang bisa dipakai untuk menilai kehebatan seseorang.

Otakku masih berpikir keras, sedangkan mataku terus menatapnya untuk mencari tahu maksud dari omongannya barusan. Bisa kulihat kalau Derian juga sedang menahan napas dan mengatupkan bibir rapat-rapat. Sepertinya dia sama gugupnya denganku saat ini. Aku tidak tahu apa yang terjadi sekarang, yang jelas detak jantungku sama sekali tidak normal. Bukannya terlalu percaya diri, aku hanya merasa istimewa karena ucapannya barusan. Dia khawatir padaku, begitu kan kesimpulannya?

"Gue nggak berharap lagi sama dia," jawabku akhirnya, saat melihat bibir Derian mulai terbuka. Entah kenapa, aku takut dia akan menarik kembali kata-kata barusan. Makanya, aku harus bicara mendahuluinya.

Ujung-ujung bibir Derian berkedut. Aku tahu dia sedang menahan senyumnya supaya tidak mengembang di luar batas normal. Namun, dia gagal. Karena sekarang dia sedang mendongak melihat langit sambil tersenyum lebar. Oh! Bahkan tawanya terdengar sekarang. Dan ternyata tawa itu menular padaku.

Aku tidak tahu kenapa dia tertawa. Aku juga tidak tahu kenapa aku ikut tertawa. Aku tidak tahu, kenapa kami bisa terlihat sesenang ini hanya karena beberapa kata yang kami ucapkan tanpa sadar. Tapi yang aku tahu, ada sesuatu yang berbeda di antara kami sekarang. Dan perasaan itu menyenangkan.

"Kita ngopi lagi?" tawar Derian, yang tentu saja kusambut dengan anggukan penuh semangat.

Kopi adalah bagian dari hidupku. Ia akan jadi penghibur yang sangat baik untuk saat-saat terburuk, tapi ia juga selalu menjadi teman yang asyik untuk diajak merayakan hari yang baik. Apa pun yang kurasakan, aku selalu butuh kopi. Dan mungkin sekarang juga bertambah teman "ngopi" yang menyenangkan.

Ini sudah ketiga kalinya aku ke coffee shopdan minum kopi bersama Derian. Selama berpacaran dengan Gian, kesempatan untuk mengunjungi coffee shopdengannya hanya hitungan jari. Sekalipun dia setuju untuk menuruti keinginanku, pesanannya selalu berupa teh atau yang lainnya. Apa pun, asalkan bukan kopi. Intinya, dia tidak suka kopi dan kebiasaanku ini. Makanya, aku sangat senang ketika Derian menerima ajakanku waktu itu.

Entah ini aku yang terlalu banyak berpikir, kelewat percaya diri atau bagaimana, tapi aku merasa Derian berubah. Pertama kali kami ke coffee shopbersama, dia sama sekali tidak mau diajak ke tempat yang jauh. Tapi tadi dia yang mempersilakanku memilih coffee shopyang sedang ingin kukunjungi sesuka hati tanpa harus memikirkan jarak. Maka berakhirlah kami di sini, di salah satu coffee shopterenak di daerah Kelapa Gading.

"Tumben pesen moka?" tanya Derian saat kami baru kembali ke tempat duduk seusai memesan.

Pertanyaan itu mengangkat ujung-ujung bibirku secara otomatis. Derian memang cowok yang perhatian. Di luar dugaan, ternyata di balik sifat penuh obsesinya, dia sering memperhatikan hal-hal kecil dari orang di sekitarnya. Atau mungkin hanya aku? Aku tersenyum geli saat memikirkan kemungkinan itu. Tapi jujur saja, dia memang berbeda. Gian tidak pernah hafal dengan pesananku, padahal aku tidak pernah menggantinya.

Death Sensing CoupleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang