Aku berlari mengitari koridor sekolah. Sejumlah siswa yang berada didepanku, kuterobos satu-persatu. Tak jarang sumpah serapah terlontar akibat kekesalan mereka. Layaknya pembalap terkenal aku-pun demikian namun bedanya yang menjadi tungganganku adalah sapu reok. sapu lusuh nan dekil bila ditendang hancur berkeping-keping lalu manjadi abu jika dibakar. jantungku berdegup kencang seolah setiap membran sel didalam jantungku memompa dua puluh kali lipat kencangnya melebihi kali pertama aku berjumpa dengan cinta pertamaku. nafasku terengah-engah setiap udara yang keluar dari rongga bibirku seharga sepuluh juta kiranya. duh aku sangat kehabisan nafas. Akan tetapi ketika aku menelisik ke arah belakang, semangatku untuk terus berlari bertambah tiga ratus enam puluh derajat, ini bukan sekedar drama fim action atau apalah semacamnya. Jauh dari itu ini sungguh meneganggakan. Sesosok pria bertubuh tambun terus berlari ngejarku hingga tetes darah penghabisan. Kuusap keringat didahi lalu kupaksakan kakiku untuk terus berlari kemanapun arahnya. Tak heran bila ada segores sobekan akibat sapaaan dari ujung jendela almunium menghiasi baju PDH-ku.
Secepat kilat gengaman tangan menarik kerah bajuku. Aku terjerembab dalam sebuah gulungan terpal yang pengap, minim udara dan penerangan. mataku sayu memicingkan pandangan kearah wanita didepanku. Sepertinya aku kenal. berkulit putih susu, bersih terang bak bulan canopus. debu sejumput di rahinya tak mengapa. Toh wajahnya memberi semerbak berlian terpendar dari balik senyum simpulnya. Sungguh wanita yang anggun. Jemarinya menelungkup disisakan hanya telunjuk lalu berkata "Sshhtttt...". Aku terdiam kaku sambil mengatur nafas. Sejurus tangan lihainya menelisik sekujur tubuhku. Membersihkan dedauan, yang menempel dan menghitung satu -persatu sobekan dibajuku. Ohh.. sungguh aku murid malang.
Dari balik celah terpal kami mengintip pria yang mengejarku sedari tadi. Kuperhatikan lamat-lamat sambil terus berhati-hati. Zuursss.... secepat kilat pria itu melesat, desiran angin mengikuti derap langkahnya. Sungguh desiran angin itu membuat jantungku kembali kembang-kempis bak rudal yang ditembakkan kearah balon udara raksasa. Wanita itu kembali menenangkanku. Ia menggenggam tangaku sambil mencoba membuka terpal sedikit- demi sedikit. pelahan tapi pasti aku mencoba mengikuti saranya. anehnya aku hanya manut saja kepada wanita ini.
ketika pria tambun itu berada cukup jauh dari terpal. kami langsung keluar dari tempat ini. "Heeii..", jerit pria tambun ini melihat kami berdua. Sementara itu, wanita ini terus menggengam erat tanganku tanpa takut bahaya serupa denganku siap menunggunya. Aku ketakukan bukan main. Kami terus berlari hingga diujung kelas lantai dua berpintu teralis besi. tanpa berfikir panjang wanita itu dengan sigap mengunci pintu teralis. Sembari aku dihentaknya jatuh kebawah tangga. tulangku serasa rontok lalu aku terhenti di dinding tangga. pandanganku kabur ketika melihat wanita itu dari bawah tangga. semburat mega merah menghalangiku melihtnya dengan jelas. ah sudahlah, yang terpenting aku bisa benarfas lega, kalimat itu yang terbersit di fikiranku.
pria tambun itu meneriakiku, melontarkan sumpah serapah. sementara aku yang tak mampu mengenali lingkungan disekirtaku hanya memicingkan mata sinis sambil terawa tipis. kemudian wanita ini memapahku. jeritan-jeritan dari pria tambun mengiriri langkah kami di senja nanindah. kukerlipkan mata kearah pri tambun tersebut. tak kuasa aku melihatnya. kudapatinya sedang terkuci rapat di lantai dua gedung sekolah.
YOU ARE READING
NAVAL
General FictionSecercah asa dalam takdir sang Kuasa. Begitu kiranya melukiskan kisah anak kecil yang tinggal di sepanjang garis perbatasan. Sembari menatap semburat kembang api yang memancarkan gemerlap tak berkesudahan. Rahi nanar, mata terpenjar menggambarkan se...