Bagian 2. Bulan Canopus

20 2 2
                                    

Dari sudut penjuru gerbang SMK Negeri 5 Batam, aku dan tiga siswa baru berjalan sambil memapah motor yang telah dimatikan telebih dahulu mesinnya. kami berjalan mengikuti arahan kakak senior menuju parkiran motor, yang terletak tepat di belakang gedung kelas sebelas. Dua kakak senior itu bernama Kak Prana dan Kak Priska sungguh dua orang yang berbeda perangai. Aku dan Tiga temanku berjalan sangat lambat, maklumlah untuk mencapai parkiran, jalan setapak dengan medan merundak mesti dilalui. Sesekali Kak Priska menyelelutuk seolah menyidir kami berempat. Akan tetapi celetukan itu hanya angin lalu bagi kami. Lain hal-nya dengan Kak Prana ia hanya mencatat nama kami kemudian menasehati secara lembut nan halus. Telingaku bertambah panas kala Kak Priska mulai menyinggungku lagi, sebab dari awal hingga hari terakhir mos aku tak pernah absen untuk datang terlambat. Andai aku memiliki kemampuan teleportasi mungkin aku akan pergi ke jaman miosen awal. Lalu menaiki kapal canggih dari abad dua satu dan, berdiri di tengah laut mediterania sambil memancing megalodon bergigi besar. Tak lupa aku menyiapkan umpan empuk nan gurih yaitu Kak Priska yang telah diberi garam dengan sedikit perisa ayam terlebih dahulu. Ashitt.. hayalanku tidak dapat merubah keadaan, toh dia kakak senior. Pasal pertama kakak senior tidak pernah salah. Apabila salah maka kembali kepasal pertama. Heemm.. peraturan semacam apa itu. Ah sudalahlah, inikan hari terakhir aku mos. Bukankah, mos yang penuh disiplin tingkat dewa ini akan segera berakhir?. Syukurlah berarti aku tidak perlu lagi bangun pagi untuk datang tepat pukul enam pagi. Tidak akan lagi merasakan teriknya matahari yang menerobos sampai epidermis. kemudian pulang dengan keadaan kusut, lusuh, dan kucel.                   

 Kupakirkan motorku di bawah pohon mangga penuh buah. Lalu ku pastikan motorku telah terkunci aman dan tidak kepanasan. Aku takut sinar matahari membuat warna motorku berubah hitam pudar oh .. sungguh tidak kuat melihatnya. Simpul senyuman manis kusedekahkan tanda perpisahan sementara. Dari kejauhan semua siswa baru berkumpul di lapangan sekolah. Tidak dengan topi toga maupun tas karung, lebih-lebih pita warna-warni di kepala atau dasi terong. Hanya baju putih dan treining hitam serta nametag di dada sebagai pengenal. Heem.. sederhana bukan?. Setidaknya aku tidak menjadi wiro sableng selama di perjalanan menuju sekolah. Aku duduk di barisan paling belakang regu Patimura. Biasanya yang duduk di belakang ini untuk anak terlambat. Karena aturan duduk kami di tentukan oleh tingkat keawalan datang. Semakin awal siswa datang maka semakin di depanlah siswa duduk. Sedikit rasis memang. Untuk yang duduk di belakang tentulah mendapat hadiah dari Kak Ade (seorang tentara yang bertugas mendisiplinkan kami selama mos berlangsung) seperti tiarap dari parkiran menuju lapangan, 5 meternya panjangnya kira-kira. Beruntung pagi ini aku tidak melihatnya, kakak seniorpun demikian sepanjang sisi lapangan mereka tidak melihatku terlambat. Pantas saja Kak Ade dan kakak senior lengang, hanya Kak Prana dan Kak Priska yang berjaga. sebab meraka semua terpaku pada Ibu Dokter cantik yang mengisi materi sosialisasi kesehatan pagi ini.                  

 Kulihat awan berseri indah dengan semburat mega biru mirip sayap burung pavo cristatus. Sementara itu langit menyapaku mesra lain dari hari biasanya. Kali ini semesta benar- benar berpihak kepadaku hehehe.                

 "Masih pagi... udah sial aja, hahhah", ejek Kudil di sampingku.               

  Gadis berwajah bulan canopus ini lebih tepatku panggil Kudil (kumel and dekil) . Sebab, potonganya mirip pohon ketapang diaduk badai. Meskipun ia berharap namanya Dyajeng Fadila Pramesti Cahyani Widiodiningrat, sementara nama asli di akta kelahiran tertulis Adila Amesti, sangat timpang agaknya. Nama itu jelas menggambarkan gadis berkebangsawanan Jawa. Semetara ia hanyalah seorang gadis melayu keturunan rakyat Bintan Tumasik.              

 "Gini ni, contoh orang sarapanya pakek biji nangka, asal aja" jawabku dengan dialek melayu kepulauan.             

  "Hihihi . . . bukan itu, Pizza pakek kuah bakso ci, haahha..." timpalnya polos .              

"Yhhaaaa..." balas ku atas ke absuran jawaban kudil.               

Mataku masih tertuju pada gadis di depanku ini. Rahi mukanya penuh kebosanan, terlihat jelas matanya yang datar dan bibirnya miring ke kiri bawah, ditambah tangan kanannya menopang kepala. Ku kerlipkan sebelah mataku, dengan dahi mengerut tipis. Aneh... tapi nyata cantik-cantik kok sengklek. Aku menyadari betul tingkat kedunguanku. Agaknya aku harus memikirkan sewindu tambah tiga hari untuk menjadikan kudil sebagai teman sepermainanku. Aku takut tingkat keabsuranku berpangkat tiga nantinya. Tingkahnya serupa belut sawah, liar menggeliat, dan gesit. Ia selalu melanggar standar kebiasaan remaja masa kini. Ia juga menganggap dirinya benar walaupun dengan cara yang tak biasa.  Setidaknya itulah kesan pertamaku mengenal gadis ini.


"Selamat Membaca Sahabat Penaku,, Semoga Syuka yaaa :) :)"

"Btw kudil yang jilbab unguu yaah :) dan aku yang Jilbab coklat, aku seneng banget punya sahabat seperti kudil.. "


NAVALWhere stories live. Discover now