Bagian 1

7 0 0
                                    

Angin malam memainkan rambut kriting gantung ku, mata besar ku masih menatap wanita paruh baya yang sedang duduk satu meter di depan. Rambut cokelat kemerahan, mata bulat kecil dengan lensa abu-abu kebiruan, hidung mungil dengan tulang hidung yang cukup tinggi, bibir tipis yang masih berwarna merah jambu.

"Kata Mama, dulu waktu Nara baru lahir, semua orang senang ya, Mbah?"

Wanita yang bukan lain Mbah ku ini tersenyum, mengusap lembut rambut ku. "Wo iya, semua orang di kampung ini senang, bukan keluarga kita saja, Ra".

"Tapi kata Mama, dulu Mbah ga suka sama Mama"

Mbah sekarang menunduk, ia kemudian menatap ku, seolah memperhatikan setiap inci wajah ku. "Nara, kapan nanti kalau Nara sudah besar Mbah ceritakan semuanya ya".

"Kenapa nanti? Kenapa ga sekarang? Nara udah besar kok, Mbah. Nara biasa ikut mama tuh ke pasar buat kerja kupasin bawang", ucap ku saat itu.

Mbah terlihat menelan saliva nya. Bunyi gamelan di depan mulai terdengar bersautan membuat obrolan kami menjadi terganggu yang justru membuat Mbah merasa lega, setidaknya untuk saat ini. Ia kemudian tersenyum. "Nah Nara, dengar toh bunyi apa itu? Sekarang, Nara masuk. Ayok, kita harus menjamu tamu".

Aku mengangguk sambil tersenyum lebar, dengan semangat berlari ke kamar Mama dan Bapak di belakang untuk bersiap-siap. Sudah menjadi kebiasaan di keluarga ku untuk menjamu tamu dengan sangat apik. Mbah ku termasuk orang yang sangat mencintai budaya Jawa meskipun dia memiliki darah Skotlandia. Secuilnya, Ia selalu berusaha untuk memperkenalkan budaya Jawa pada kami.

Nara, NatanegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang