JUMA SENJA

94 2 0
                                    

Sekarang, 2 september di tahun 2020.

Langit merubah dirinya menjadi jingga terang, batas senja telah terlihat jelas. Perlahan mentari rebah di peraduannya, semburat cahaya merah temabaga redup bertahap, hingga tak terasa gelap pun jatuh di hadapanku. Syahdu.

Senja kala ini tak berbeda dengan senja-senja yang sebelumnya, hanya saja hujan turun lebih akhir untuk membasahi khalayak ramai yang sedari tadi sibuk berlalu-lalang di jalan trotoar kota. Becek, beberapa air tergenang di antara jalanan yang terlihat mencekung. Tikus-tikus kota berlarian antara selokan satu dengan yang seberang, melewati jalan raya yang ramai dilalui benda pengangkut manusia, bisa juga barang, atau makhluk yang lain, terserah.

Ku awali senja hari ini menghirup aroma nikmat kepulan putih tipis dari kopi arabika, seraya mencari-cari sesuatu yang ku simpan lama dalam memori kepalaku. Hujan senja ini turun sembari membawa kenang, lebih lama hujan turun lebih lama aku mengenang. Hujan kadang memang turun tak tepat waktu. Rasa cemburu hadir pada tanah yang lagi dicumbu hujan dan gurat air yang mengalir jatuh dari ujung atap kafe, terhempas ke tanah, hancur. Ingin ku teriak lantang sebuah nama itu. Tentu saja dengan sia-sia, suaraku melebur tertelan riuhnya rintik hujan yang turun secara bergantian menerjun bebaskan dirinya tanpa ragu. Ku sruput tipis kopi sambil lamat-lamat ku nikmati dinginnya waktu, bersamaan dengan ayunan pelan dedaunan di luar kafe yang tertiup angin.

Waktu senja ini ku buat untuk menunggu seseorang di Kafe Lopecoffee, tempat ngopi dan nongkrong yang cukup terkenal di kalangan remaja Kota Samarinda. Seorang pria ingin sekadar berbincang denganku. Juma, sahabat karibku. Kami memang sudah lama tidak bertemu, tepat 2 tahun kiranya sejak hari ulang tahunku di tahun 2018. Kami juga telah berteman akrab sejak kecil. Hubungan kedua orang tua kami layaknya bersepupu, sangat dekat. Saat itu rumah kami tak terpaut jauh, masih dalam satu komplek perumahan yang sama.

Arloji digitalku menunjukkan pukul 19:55, seharusnya lima menit lagi pria tampan itu akan segera tiba. Betul saja, dari pintu masuk kafe nampak seorang pria melambaikan tangannya padaku.

"Hai Lid! Maaf ya, saya sudah harus membuat kamu menunggu." Sapa pria berhidung mancung tersebut.

"Tidak kok, Jum." Bantahku singkat.

"Kamu kok minum kopi saja? Tidak pesan makanan? Atau perlu aku yang pesankan?" Tanya Juma sambil membuka mantel yang memeluk tubuhnya. Malam yang kelam saat itu memang sangat dingin, bias gerimis turun secara bergantian menghiasi langit yang pekat itu.

"Aku sudah cukup banyak makan hari ini. Perutku hanya mampu menenggak beberapa mililiter air saja, tidak lebih. Bagaimana bila kamu saja yang memesan untuk dirimu sendiri?"

"Aku pun. Layaknya air diminum rasa duri, nasi dimakan rasa sekam."

"Jadi, bagaimana keadaanmu hari ini? Sejak kamu harus pindah rumah, aku sangat kesepian harus menikmati senja tanpamu." Curhatku memecah keheningan di tengah riuhnya para pengunjung sambil menyeruput kopi yang sedari tadi aku genggam.

"Seperti yang bisa kamu lihat, aku baik-baik saja. Sudahlah tidak perlu bersedih, aku merasa bahagia di rumah baruku. Jika kamu ingin, berkunjunglah sesekali." Ajak Juma sopan yang sedari tadi menatap sekeliling ruangan kafe yang bergaya retro tersebut.

Ada satu hal yang tak kupahami hingga saat ini. Aku adalah perempuan yang jatuh hati pada sahabatku sendiri. Malu sekali rasanya ketika aku kepergok oleh ibu meracau menyebut nama Juma ketika tertidur. Bukan salahku, matanya yang kecokelatan dan pipinya yang tirus membuat siapapun pasti akan terpana melihat pria setinggi 185 cm itu. Aku lupa kapan persisnya perasaan melewati batas sahabat itu muncul. Namun, aku ingin selalu berada di dekatnya. Mencintainya sepenuh hati, walau tak pernah kunyatakan hingga saat ini.

"Mungkin besok pagi aku akan berkunjung ke rumahu. Saat ini terlalu malam untuk berkunjung." Jawabku serius sembari memerhatikan gelagatnya yang sekarang mulai memainkan sebuah serbet di atas meja.

"Baiklah. Sebenarnya aku sudah lama menunggu saat-saat ini Lidya, saat dimana kita bisa menikmati senja bersama lagi, walau hujan." Matanya menatap mataku, terpantul sesosok wanita di matanya, yaitu aku.

Andai kau juga tahu Juma, aku juga merindukan senja-senja yang pernah kita lewati dulu. Jika ada orang yang bertanya padaku tentang tempat yang paling indah di muka bumi ini, maka jawabanku pastilah semua tempat di muka bumi ini adalah indah, asal itu bersamamu.

"Bagaimana keadaan ibu kamu di rumah Lid? Dia selalu menyuguhkan secangkir coklat hangat dan sepiring biskuit setaip aku berkunjung ke rumahmu."

Bibirnya yang pasi menyiratkan senyum tipis di raut wajahnya. Terlalu lama memang aku melupakan wajah pria itu. Wajah yang selalu aku adu pada senja.

"Ibuku masih seperti dahulu, tidak berubah. Ketika aku berangkat kuliah, omelannya adalah sarapan pengganti jika aku tidak sarapan pagi itu." Kataku santai.

"Bukankah memang seharusnya seperti itu. Ibu mana yang mau anaknya sakit karena tidak sarapan?"

"Mungkin, entahlah. Aku pikir juga begitu."

Senyum yang ada di wajah Juma sedikit melebar di kedua sudutnya ketika ku sibakkan rambut yang menjuntai di depan mataku.

"Bukankah itu topi yang aku berikan ketika kamu ulang tahun? Kamu masih menyimpannya?" Tangannya menunjuk sebuh benda berwarna merah muda yang menyembul keluar dari tas selempang di bahu kananku.

"Oh, iya. Ini hadiah dari mu ketika usiaku tepat 18 tahun saat itu. Aku suka warnanya. Aku selalu memakainya jika panas matahari di luar rumah cukup terik." Ku keluarkan topi itu. Ku perhatikan setiap inci topi tersebut dengan mataku.

Malam pelik itu berjalan dengan celotehan-celotehan lakyaknya sepasang sahabat yang sudah lama tak bertemu. Habis sudah aroma dan rasa khas kopi arabika, tersisa pahit dan ampas di setiap dinding cangkir putih bersih itu. Hangat sekali, namun lagi-lagi waktu menunjukkan kekejamannya. Begitu cepat. Sudah pukul 21:48, aku rasa sudah cukup larut bagi seorang gadis berkeliaran di luar rumah.

"Sampai jumpa lagi Lidya Andriyani Handoko. Aku tunggu kunjunganmu di rumah baruku."

Waktu singkat itu berakhir dengan senyum hangat dan lambaian pelan tangan lembut pria itu. Bisa teraba jelas bahwa senyum sahabatku itu menyimpan berbagai macam susah. Dialah orang yang selama ini aku rindukan dalam senja. Inikah yang orang lain sebut sebagai 'kehilangan'? Saat itu aku hanya bisa memeluk dadaku sendiri. Kini aku sadar bahwa sesuatu yang hilang sudah sepatutnya menjadi kenang, bukan sesuatu yang harus di bawa pulang.

***

Esok harinya.

Pagi yang cerah, 3 September di tahun 2020.

Bekerku yang berbentuk hewan kucing menunjukkan pukul tujuh tepat. Segera ku gapai sebuah topi berwarna merah muda di atas meja dekat ranjangku. Langkahku kian cepat ketika berada tepat di hadapan pintu rumahku, namun terhenti.

"Lidya! Kamu mau pergi kemana? Bukankah hari ini kuliah kamu libur?" Tegur seorang perempuan di belakangku yang sedang mengenakan celemek bermotif bunga matahari di tubuhnya.

"Aku mau pergi keluar sebentar bu." Jawabku singkat.

"Mau pergi keluar ke mana? Tumben sekali kamu memakai topi, padahal panas matahari di luar tidak cukup terik." Tanyanya.

"Semalam aku diajak Juma untuk berkunjung." Jelasku. "Aku mau pergi melayat ke kuburan Juma bu."

Hening.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 17, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

JUMA SENJAWhere stories live. Discover now