Hay, namaku Refanandita Mayangsari. Kalian bisa memanggilku Dita. Aku terlahir dari keluarga yang sangat agamis. Ayahku adalah seorang guru Pendidikan Agama Islam yang bernama Muhammad Refandi, sedangkan mamahku adalah seorang ustadzah yang bekerja bila ada panggilan saja, namanya Dita Mayangsari. Ya, namaku adalah gabungan dari nama ayah dan mamahku. Mereka berprofesi seperti itu karena mereka ingin meneruskan jejak orangtua mereka sebagai penyebar dan pembela Agama Islam. Ya, berarti sudah jelas bahwa kakek dan nenekku dulunya juga berprofesi seperti kedua orangtuaku dan sekarang mereka lebih memilih merawat dan menjaga masjid dengan menjadi seorang aktifis masjid. Mereka sadar dengan dirinya yang sudah semakin senja dan semakin pekat beraroma tanah, maka mereka lebih memilih menghabiskan sisa masa senjanya untuk mencari pahala yang sebanyak-banyaknya agar dapat menempati Surga-Nya kelak daripada menganggur di dalam rumah saja.
Angin bersemilir dengan tenang dan membuat pepohonan bergemulai sehingga embun yang singgah di dedaunan bergelinciran ke tanah. Sang fajar telah nampak dari singgahsananya sehingga si jengger merah dan si burung kecil pun saling bersahut-sahutan. Kokokan si jengger merah yang lantang dan kicauan si burung kecil yang merdu membangkitkanku dari ranjang. Pagi ini adalah pagi yang sungguh cerah. Pagi ini menjadi pagi pertamaku merasakan duduk di bangku anak SMA. Ya, tentu saja ini adalah moment yang sangat ditunggu-tunggu anak SMP yang baru saja menerima selembar kertas ijazah bertuliskan LULUS.
Aku diterima bersekolah di SMA WIJAYA. Sebenarnya aku sedikit kecewa dengan hasil itu karena sesungguhnya itu bukan SMA impianku, melainkan SMA pilihan keduaku. Ya, tentu saja aku terlempar dari SMA impianku karena NEMku masih cukup kurang untuk diterima di sana. Namun, aku mencoba dengan perlahan untuk mulai bisa menerima hasil itu. Akhirnya lama-lama aku sudah mulai bisa menerima dengan ikhlas hasil itu. Aku pun mulai menjalani MOS dan berbagai kegiatan anak baru pada umumnya di awal masuk sekolah. Rentetan kegiatan awal masuk sekolah aku tekuni hingga akhir. Selepas itu, berdasarkan hasil keputusan bersama para guru dengan mempertimbangkan hasil tes IQku, aku menempati kelas permanent X MIPA 3 dan aku mulai mencoba beradaptasi dengan teman-teman baruku.
ѾѾѾ
Pagi baru kini menyambutku dengan ramah. Namun sangat disayangkan suasananya tak seperti pagi-pagi sebelumnya. Langit yang biasanya biru cerah kini gelap berkelabu sehingga sang fajar tak dapat tertampak, angin yang sebelumnya bersemilir dengan tenang kini berhembus tanpa kendali, burung dan jago yang biasanya berkeliaran dengan bebas serta bersahut-sahutan kini lebih memilih diam untuk berhangat di dalam rumahnya. Bulir demi bulir air hujan merintik perlahan. Aku sungguh sedih kini pagiku harus tak secerah biasanya. Alasannya hanya karena di keluargaku tidak terdapat jas hujan apalagi payung. Sebenarnya ada, tetapi semuanya telah berlubang dan payungnya pun sudah tidak layak pakai. Mobil yang terparkir di garasi pun hanyalah mobil bobrok yang sama sekali belum terpakai namun sangat tidak terawat. Aku hanya mampu meminta bantuan kepada teman-temanku untuk berangkat ke sekolah bersama ketika pagi seperti ini menerpa.
Mungkin pagi ini adalah pagi kesialanku. Aku benar-benar lupa untuk meminta bantuan kepada teman-temanku. Aku mulai menyadarinya ketika aku telah selesai bersiap dan sudah benar-benar siap untuk berangkat sekolah.
"Mah, ayo berangkat!"Pintaku segera setelah aku benar-benar siap.
"Biasanya kamu meminta tolong temanmu buat berangkat sekolah bersama kalau hujan seperti ini, Nak?"
"Astaghfirullah! Aku lupa, Mah."Kejutku yang baru saja menyadari kelupaanku.
"Ya sudah minta tolong temanmu sekarang sebelum dia berangkat ke sekolah!"Saran mamahku.
"Baiklah, Mah. Aku akan segera menghubunginya."
Segera saja aku menghubungi semua teman-temanku yang sekiranya bersedia membantuku dengan kecepatan secepat kilat. Teman yang pertama aku hubungi adalah Rani karena dia yang sering aku mintakan pertolongan dan selalu bisa untuk aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
MUKJIZAT TERINDAH
Short StoryAgama bukanlah penghalang, kita saja yang memaksa rasa