3.

21 1 0
                                    

Tak berkutik di dalam sunyinya malam. Tak bersinar di dalam gelapnya rembulan. Tak semua masalah ada jalannya. Tapi juga, tak semua jalan ada masalahnya.

Lila. Perempuan yang selalu dan pasti ceria. Tetapi untuk saat ini ia tak bisa. Bahkan tak mampu. Keadaan yang memaksanya untuk merenung di malam yang kelam ini.

Waktu sudah menunjukkan pukul 00.05 dini hari. Tetapi tetap saja, matanya tak bisa terpejam. Memikirkan semuanya akan menambah beban hidupnya. Selama ini ia selalu ceria, maksudnya untuk menghilangkan pikiran yang menghantam kepalanya. Tetapi malam ini. Intinya malam ini. Keterpurukan yang sangat dalam, kelam dan gelam.

Tokk tokk tokk

"Masuk" ucap Lila dari dalam kamar tanpa pergerakan sekalipun.

Seseoeang itu membuka pintu dan duduk persis di ujung kasur Lila, "katakan apa yang ingin kamu katakan, dek."

"Kenapa bisa?" Tanya Lila pada keadaan.

"Bukan salah kamu. Kamu hanya perlu menerima nya dek. Aku tau kamu pasti bisa bangkit." Ucapnya menyemangati.

"Abang yakin?, emmm---" ia berpikir untuk merubah panggilan itu, "aku gapapa kan tetap panggil abang?" Tanyanya yang sudah merasakan keanehan dalam hubungan mereka.

Reza mendekati Lila. Ia tetap sayang adiknya itu walaupun ia sudah tau keadaan itu sejak lama, "sampai kapanpun, kamu tetap jadi adik abang. Jangan canggung. Anggap aja ga ada yang terjadi." Ucapnya sambil mengelus kepala Lila.

"Aku harus berbuat apa, bang?" Tanya Lila datar.

"Bertingkah seperti biasa, seperti Lila yang ceria selalu." Ujar Reza tersenyum lebar menenangkan.

***

Matahari bersinar terang di kala hari sedang senang. Tetapi itu tak berlaku untuk hari ini. Matahari tak terlihat batang hidungnya. Hari penentuan kenaikan kelas. Menuju jenjang akhir di Sekolah Menengah Atas.

Sudah beberapa bulan ia merenung dalam kesunyian, tetapi ia tak menampakkannya di depan umum. Ia bisa menempatkan diri, dimana saat sedih dan dimana saat senang.

Kalau masalah nilai. Jangan ditanya. Lila jagonya. Sedari SD ia selalu menempati urutan pertama setiap pembagian raport.

Ia memang memiliki otak yang cerdas. Entah dari siapa. Atau mungkin dari Ayah kandungny?.

"Selamat ya, Tel." Ucap Ibra dengan senyuman hangat melelehkan hati.

"Gausah lebay kak," ucap Lila mengebas-ngebaskan tangannya di depan wajah Ibra, "kan sudah Lila bilang, jangan suka panggil 'Tel'. Jelek tau." Protesnya.

"Karena kamu itu selalu kakak anggap anak kecil, 'Litel sama dengan Lila Little, jadi kalau disingkat Litel' gitu." Cengir Ibra tanpa dosa.

"Terserah kakak aja. Lila keluar." Tanpa basa-basi ia meninggalkan Ibra yang meratapi kepergiannya.

"Sebentar lagi. Dan kamu akan menemukan kebahagiaan sesungguhnya, dek. Kakak selalu sayang Litel. No matter what happen." Gumamnya.

"Kak cepettttt, gausah menghayal." Teriakan itu terdengar memekikkan di telinga Ibra.

"Punya ade dua. Yang satu ga waras, yang satunya lagi tambah ga waras. Hadeh." Ibra mendumel sembari berjalan menghampiri Lila.

Lantunan lagu terdengar menggema di dalam mobil itu. Mobil itu berjalan menuju sebuah rumah yang khusus dibangun untuk seseorang. Siapa lagi kalau bukan Lila.

Sedangkan seseorang yang di bicarakan, sedang tertidur pulas di kesejukan hari itu.

Langit tampak sedang tidak terik, awan pun berkumpul menjadi beberapa bagian yang menyejukkan. Jalanan terlihat sedikit lancar. Dan pikiran Ibra mulai kemana-mana.

Ia memikirkan adiknya. Adik yang selama ini ia sayang. Dulu, ketika ia mendengar bahwa ia akan memiliki adik. Ia sangat senang. Ditambah dengan mengetahui bahwa adiknya adalah seorang perempuan. Kesenangannya bertambah berkali-kali lipat. Tetapi semua membuatnya sedikit bersedih. Mengetahui bahwa Lila bukanlah adik kandungnya.

Tapi tak apa, Lila selalu mempunyai tempat special di hati Ibra melebihi apapun.

"Ini orang kalo molor ngeri banget. Sampe ga kenal tempat." Dengan terpaksa ia membangunkan Lila dengan menepuk pipi gadis itu.

"Oke." Yang di bangunkan hanya mengacungkan jempolnya dan tetap menutup mata.

"Ga bangun, gue kunciin di dalam mobil." Ucao Ibra kemudian membuka pintu mobil dan menutupnya keras.

"Astagfirullah. Itu orang atau singa ngamuk¿" tanpa pikir panjang, Lila pun berlari keluar dari mobil dan mendahului Ibra menuju kamarnya.

"Ga waras, ga waras, ga ada yang waras." Ibra menggeleng frustasi sembari mengacak rambutnya.

***

Menjelang sore hari, seperti biasa. Gangguan akan datanfg. Si biang kerok akan menampakkan wajahnya melalui pagar pembatas rumah mereka.

"Selamat sore belalang. Selamat datang di keheningan sore yang sekarang menjadi tidak hening lagi. Saya mewakilia panitia sore hari mengucapkan 'Happy new yearrrrrrrr'." ujarnya heboh membuat Lila menutup telinga rapat-rapat.

"Manusia tolong diammmmmmm. Sakit telinga gue!" Kesalnya.

"Baik nyonya. Maafkan saya." Ujar Ali mendramatisir. Ia melangkahkan kaki memasuki pekarangan belakang rumah Lila. Duduk tepat di sebelah Lila dan

"Mau ngapain lo?" Singa datang.

"Astagfirullah. Dede kaget om." Ucap Ali, lebay.

"Ga usah jadi anak alay, menyingkir atau gue singkirkan lo dari rumah ini." Tajam Ibra.

Ketika Ali berkunjung, Ibra memang selalu membuatnya kesal. Entah memarahi Ali, mengajak Ali baku hantam, ataupun mengajak Ali bermain ps.

"Om Ibra lebay. Om Ibra lebay." Ali memang seperti itu, jika ada Ibra ataupun Reza. Ia selalu mengolok-olok mereka. Dan kemudian terjadilah kejadian seperti berikut ini.

Ibra dengan cepat melayangkan tinjuannya kepada Ali, tetapi Ali pun dengan cepat menyingkir, "ga kena. Wle wle wle wle." Olok Ali.

Kini Ali yang melayangkan pukulannya, dan meleset. Mereka selalu melayangkan pukulan satu sama lain. Tapi tak ada yang dapat mengenai sasaran. Entah mereka sedang bermain-main atau memang mereka tidak ada yang jago berkelahi sehingga tak ada yang bisa memukul tepat sasaran.

"Berhenti atau kalian berdua gue usir dari sini." Lila lelah menonton pertandingan tidak jelas yang ada di depannya. Mana ada orang berkelahi tapi tak kunjung kena. .

"Tuan rumah marah." Ali dengan cepat duduk di samping kanan Lila. Dan Ibra di samping kiri Lila.

"Cape juga ya." Ujar Ibra.

"Lebay lu, om. Baru begitu doang."

"Sekali lagi lo panggil gue om, gue habisin betulan lo." Kesal Ibra.

"Ampun, shifu."

"Kenapa semua orang di sekelilingku ga ada yang beres ya?" Lila bertanya pada dirinya sendiri.

***

Saya harap kalian suka. Hargai sebuah karya. Vote dan komen jangan lupa. Kritik dan saran sangat saya terima. I wuff u semua.

alilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang