tentang Lee Felix

429 70 7
                                    

Pertamakali mereka bertemu adalah ketika Chan berada di Semester Ketiganya. Chan sedang berada di rektorat, ingin mengambil uang beasiswa yang harusnya cair pada hari itu. Sambil menunggu giliran untuk mengambil uangnya, dia melihat seorang Mahasiswa Baru yang diceramahi oleh petugas administrasi dan berusaha menjelaskan sesuatu dengan terbata-bata.

Chan masih memperhatikan interaksi kedua orang itu, bahkan ketika namanya dipanggil dua kali. Hampir saja Chan melewatkan gilirannya. Bisa-bisa dia disuruh mengambil nomor antrian ulang.

Chan duduk di samping loket anak itu, entah kenapa telinganya mendadak jadi multifungsi. Yang satu untuk mendengar percakapan di sampingnya, satunya lagi untuk mendengarkan petugas administrasi yang mengatakan bahwa dia mendapat uang tambahan karena kemenangannya kemarin.

“Astaga. Bisa botak aku lama-lama layanin kamu,”

Anak itu berjengit sedih. Chan melihatnya dari pantulan kaca yang memisahkan petugas dengan orang di hadapan mereka.

Udah botak setengah kepalamu Pak,’ komentar Chan di dalam hatinya.

“Aduh,” anak itu menggaruk tengkuknya bingung. “I have money, but it’s dollar. Can you just accept it please?

Fokus Chan buyar karena wajah manis itu memiliki suara sedalam lautan. Chan jugas seperti mengenal aksen yang digunakan anak itu. Mirip seperti dirinya ketika pertamakali datang ke negeri ini.

“Kamu bisa cek rekeningmu, sudah dikirimkan langsung ke rekeningmu.”

Ucapan petugas administrasi di depannya menyadarkan Chan untuk fokus pada tujuan. Dia menerima Kartu Tanda Mahasiswa yang diserahkan petugas administrasi itu dan menganggukkan kepala.

“Terimakasih banyak,”

Can you please accept it?

Sepertinya percakapan meja di sampingnya belum selesai.

“Gabisa dek,”

Chan beranjak dari tempat duduknya, digantikan oleh antrian lain yang terkesan buru-buru sekali, sampai membuat Chan tertabrak dan menyenggol pemuda di sampingnya. Uang dalam bentuk dollar  yang ada di pegangan anak itu ambyar ke lantai. Chan tidak tega melihat anak itu memunguti uangnya, dia refleks membantu anak itu juga. Bisa Chan lihat ekspresi hampir menangis yang ditampilkan anak itu, sementara petugas di loketnya tadi hanya memarahi orang yang menabrak Chan.

“Ini uangnya. I’m sorry bro,” ujar Chan sambil memasang wajah bersalahnya.

Anggap pemuda kaukasian itu sudah gila, karena luluh pada ekspresi anak itu. Jantungnya berlari dengan kecepatan yang luar biasa menyenangkan. Tanpa kata, anak itu malah pergi dari tempatnya. Membuat rasa bersalah Chan mengakar hingga ulu hati.

“Heran aku. Apa dia nggak memiliki sanak saudara yang bisa bantu. Anak sepolos itu dibiarin sendiri,”

Chan menatap petugas yang tadi melayani anak itu.

“Dia kenapa Pak?”

“Belom lunasin pembayaran almamaternya, dek. Terus tiap dateng ke sini selalu kelimpungan. Kayak bocah nyasar,”

Dan tatapannya mengartikan bahwa dia kebingungan.

“Terus orang tuanya kenapa Pak?”

“Gatau dek. Saya hubungin gabisa. Saya tanyain kontak ortu malah ngomong gapunya ortu sambil mau nangis. Gimana saya ga takut???”

Setelah menimbang lama dan menggaruk tengkuknya kebingungan, Chan memutuskan untuk meringankan sedikit beban anak itu.

“Tolong bayarin lunas tunggakan almamater dia ya Pak?” ujar Chan sambil menyerahkan kartunya. “Kalo dia nanya siapa yang bayarin, kasih identitas saya aja gapapa.”

“Serius kamu Chan?”

“Iya Pak.”

Percakapan berlanjut lagi, bersamaan dengan Chan yang menyelesaikan administrasi anak itu. Dia mendapat informasi anak itu dari mulut petugas administrasi(yang entah kenapa licin sekali, mungkin efek stress).

Namanya adalah Lee Felix. Usia baru delapan belas tahun. Mendapatkan kampus dan jurusannya melalui jalur SNMPTN. Mahasiswa berprestasi di bidang robotik.

Oh, lalu apalagi?

Dia dari Australia juga.

“Udah ya Chan.”

“Makasih Pak.”

rantau | chanlixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang