Suasana langit sore itu mendung kelabu, seolah meledek suasana hati seorang gadis yang sedang bersandar pada jendela kusam dibelakangnya. Dia menghembuskan nafas untuk yang kesekian kalinya, seakan mencoba mengusir beban berat yang terasa membuat lelah jiwa raga. Kemudian berlagak ala bangsawan, ia melihat suasana langit sore itu, matahari sama sekali tidak mau menunjukkan sinarnya, mungkin malas atau mungkin matahari sudah lelah menyinari manusia yang terkadang tidak tahu diri atas anugerahnya.
Ah sudahlah tidak ada gunanya memikirkan hal hal yang hanya menjadi tugas sang pencipta.
Memangnya apa untungnya bagiku, toh semesta masih sekejam itu.
Memutuskan untuk tidak peduli ia menyalakan handphonenya dan kebetulan saat itu notasi telah menunjukkan pukul setengah lima sore, sontak ia terkejut dan mengumpat setengah hati. Bodoh, bodoh, seharusnya saat ini dia sudah berada di rumah menyapu dan melakukan pekerjaan lainnya sambil menikmati senja yang perlahan menghilang ditemani oleh kalimat kalimat mesra yang dilontarkan oleh sang nenek sihir tercinta.
Tapi tunggu, tadi apa katanya rumah? Memang apa lagi kata yang layak untuk menyebut panti asuhan itu? Tempat buangan begitu. Tidak tidak sepertinya kata neraka masih jauh lebih pantas daripada tempat buangan atau bahkan rumah. Sebab sampai matipun seorang Aluna Gistara Janitra tidak akan pernah sudi menyebut tempat itu sebagai rumah.
Rasanya kolong jembatan masih terdengar lebih indah daripada tempat jahanam itu- Fikirnya muak.
Semasa hidupnya seorang Aluna pernah membaca suatu kisah dimana tokoh utamanya merupakan seorang putri buangan yang disiksa oleh keluarga tirinya, atau seorang putri yang lari dari istananya karena tidak mau menikah dengan pangeran buruk rupa, namun akhir dari cerita itu selalu sama.
Mereka bahagia.
Sudah berkali kali ia membaca kisah klasik itu dan berkali kali juga ia bertanya.
Kapan aku menjadi seperti mereka?
Mengapa setelah semua yang ia kerjakan, semua yang telah ia korbankan, rasa rasanya masih berakhir sia sia, seperti mau sekeras apapun dia mencoba, sekuat apapun dia berusaha, semesta masih tetap menganggapnya tak ada.
Mau sampai kapan hidupku terus begini, dunia untuk kali ini saja tolong dengarkan permohonanku, aku hanya seorang manusia biasa yang dirundung duka dan lara, yang menantikan keindahan dunia walau hanya sementara.
Netra coklat madunya menangkap sebuah pandangan dimana di depannya sebuah mobil keluaran terbaru yang melintas Rumah ini. Sekilas memang kelihatannya tidak ada yang aneh namun dengan keadaan kaca yang setengah terbuka Aluna bisa melihat sesosok lelaki yang sangat dikenalinya.
Auriga Enzi Jayendra mimpi buruk terbesarnya.
Terimakasih sebanyak banyaknya untuk rumah tua ini jadi seorang Auriga tidak mengetahui keberadaannya.
“Auriga kamu itu rupawan, Pesonamu luar biasa, Kharismamu tiada duanya, hidupmu selayaknya bangsawan, Namun mengapa tingkahmu seperti Iblis yang tidak mempunyai belas kasihan”
******
Semasa hidupnya Aluna tidak pernah mengerti.
Aku ini siapa?
Yang bibi Rosela katakan padanya saat itu hujan deras dan ketika bibi Rosela hendak berjalan pulang ia mendengar suara tangisan bayi yang lalu ketika ia selidiki ternyata itu adalah dirinya. Kemudian seiring berjalannya waktu bibi Rosela mengatakan sesuatu kepadanya yang iseng bertanya.
"mungkin orang tuamu tau bahwa menghidupimu tidak sesederhana itu, dunia tidak sebaik hati seperti dugaanmu"
"Kau tau sebenarnya aku juga tidak Sudi untuk mengadopsi mu, kau itu menyusahkan, bisanya hanya membuat pusing kepala, sudah dirawat dari kecil masih tidak tau diri pula"

KAMU SEDANG MEMBACA
Metanoia
Teen FictionAluna (n.a) seseorang yang memendam pilu yang teramat dalam.